Persoalan Tembakau di RUU Kesehatan Dianggap Bisa Picu Peningkatan Angka Kemiskinan

Warga menjemur tembakau di Desa Tuksongo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Anis Efizudin

VIVA Bisnis – Kontroversi olahan tembakau yang disamakan dengan narkotika dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih menimbulkan polemik. Menurut Dewan Pakar Syarikat Islam, Prof Firdaus Syam, dampak dari aturan ini juga akan membuat petani tembakau dan pekerja olahannya kehilangan penghasilan yang menciptakan peningkatan angka kemiskinan.

Kerja Sama Bea Cukai-Polri Bongkar Kasus Narkotika di Perairan Aceh Tamiang

“Bila akhirnya tembakau dan olahannya dianggap sama seperti narkoba, tidak ada yang mau lagi bertani tembakau dan mengolahnya sebab berisiko hukum. Lantas petani tembakau kehilangan pekerjaan,” ungkap Firdaus seperti dikutip Minggu, 16 April 2023.

Seperti diketahui, Omnibus Law atau RUU Kesehatan sedang digodok pembahasannya. Belakangan muncul perdebatan tentang hasil olahan tembakau karena disamakan dengan narkotika dan zat psikotropika ilegal.

Pengusaha hingga Pedagang Nilai Kebijakan yang Rugikan Industri Rokok Harus Dikaji Ulang

Penjabaran mengenai itu masuk dalam RUU Kesehatan pasal  154 ayat (3) bahwa zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

Tumbuhan tembakau

Photo :
  • Pixabay
207 Kg Sabu dan 90 Ribu Ekstasi Jaringan Malaysia Dijual dengan Modus Jual Beli Mobil

Firdaus juga menilai wacana ini muncul karena ada tekanan dari pihak asing. Menurut Firdaus, Indonesia selama ini telah punya regulasi sendiri mengenai pertanian tembakau serta produk hasil olahannya. Diketahui, kebijakan regulasi produk olahan hasil tembakau telah ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.

Ditambah lagi pemerintah Indonesia sudah sangat bijaksana dan secara konsisten tidak menyetujui untuk tergabung sebagai negara anggota Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). N

Namun dorongan untuk terus menekan industri tembakau dalam negeri melalui revisi aturan-aturan dan yang terbaru kontroversi klausul tembakau serta olahannya sama dengan narkotika dalam RUU Kesehatan ini seolah menunjukkan ada upaya untuk memasukkan unsur-unsur FCTC kedalam aturan nasional. 

Sebenarnya kebijakan tembakau dalam RUU Kesehatan dapat saja menyesuaikan pada aturan yang telah ada sehingga tidak perlu membuat kebijakan berbeda.

“Jadi tiba-tiba muncul keheranan ada apa. Kok telah ada peraturan pengelolaan tembakau namun muncul RUU yang isinya justru berbeda . Siapa yang punya kepentingan? Apa ada faktor tekanan dari negara lain karena tidak punya pertanian tembakau?” kata Firdaus.

Firdaus menyebut asumsi tersebut wajar muncul, sebab pertanian tembakau dan produk olahannya bukanlah jenis baru dikonsumsi sehari-hari di Indonesia. Apalagi tembakau dan olahannya telah banyak memberikan andil ekonomi namun tiba-tiba kini disetarakan zat ilegal berbahaya.

“Sekarang  tembakau dan olahannya dianggap sama bahayanya dengan narkoba, jadi membingungkan. Bisa saja perkiraannya ada negara lain terganggu karena tidak punya pertanian tembakau yang unggul,” ujar Firdaus.

Ilustrasi berhenti merokok.

Ekonom Indef Sebut Kebijakan Rokok Polos Ancam Ekonomi Indonesia Rp308 Triliun

Kritik terhadap PP 28/2024 dan rencana kemasan rokok polos tanpa merek muncul dari ekonom dan pakar hukum, menyoroti dampak ekonomi besar dan potensi intervensi asing.

img_title
VIVA.co.id
7 November 2024