Perbankan RI 'Pede' Hadapi Dampak Penutupan SVB, Luhut Ingatkan Jangan Jemawa

Foto ilustrasi bank yang dibekukan operasinya.
Sumber :

VIVA Bisnis – Ditutupnya Silicon Valley Bank (SVB) oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan lalu, telah menimbulkan dampak ekonomi di berbagai belahan dunia.

Prabowo Temui Presiden Luong Cuong, Ingin Kerja Sama Ekonomi Diperkuat

Selain harga minyak mentah yang ikut anjlok antara US$2 hingga US$3, bangkrutnya bank pendanaan startup itu bahkan memicu kepanikan para investor modal ventura dan pendiri startup di China akibat adanya penyitaan oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat.

Ketika ditanya kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengenai potensi dan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, Dia mengatakan bahwa sampai saat ini belum terlihat adanya tanda-tanda dari dampak penutupan SVB itu, khususnya terhadap perbankan nasional.

BTN Luncurkan Kartu Debit BTN Prospera, Kasih Layanan Keuangan Sesuai Gaya Hidup Nasabah

"Sampai hari ini kita tidak melihat ada tanda-tanda yang punya impact. Karena kelihatan modal atau capital dari bank-bank kita juga bagus sekali," kata Luhut saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Maret 2023.

Ilustrasi ekonomi Amerika Serikat

Photo :
  • BusinessInsider
COP29, BNI Ungkap Peran Strategis Perbankan Akselerasi Transisi Hijau di Indonesia

Meski demikian, Luhut menegaskan bahwa pemerintah tetap harus waspada dan hati-hati, serta terus memantau perkembangan yang terjadi guna memitigasi dampaknya bagi perekonomian nasional. "Kita harus berhati-hati menghadapi ini, tidak boleh juga kita jemawa," ujar Luhut.

Dia mengaku yakin bahwa kondisi perbankan nasional akan siap menghadapi dampak dari penutupan SVB tersebut. Sebab, menurutnya kondisi kesehatan perbankan di Tanah Air saat ini sangat baik.

Luhut mengatakan, hal itu dapat tercermin dari nilai lukiditas dan coverage ratio di Indonesia, yang berada di posisi yang cukup tinggi hingga mencapai 234 persen.

"Itu masih cukup tinggi. Sedangkan di AS itu 148 persen, kemudian Jepang 135 persen, dan China 132 persen. Jadi Indonesia masih sangat tinggi sekali," kata Luhut.

"Tapi bicara krisis seperti ini, kita tentu harus hati-hati. Saya kira BI dengan Kemenkeu, saya kenal dua orang itu, saya kira sangat bagus. Tapi kita enggak boleh jemawa, intinya begitu," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya