Gabungan Produsen Rokok Tak Setuju Revisi PP 109/2012, Ini Alasannya
- Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
VIVA Bisnis – Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali mendapat tekanan dari Pemerintah karena berencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Kelompok pengusaha menilai, PP yang berlaku saat ini masih mumpuni dan sudah tepat dalam mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik.
PP 109/2012 sendiri merupakan aturan tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Rencana revisi tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
“Poin-poin revisi yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas sudah tercantum dalam PP 109/2012 yang berlaku saat ini,” ujar Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi di Hotel Bidakara, Jakarta dikutip Rabu, 15 Februari 2023.
Benny mengatakan, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur berbagai desakan yang dilontarkan oleh Kementerian Kesehatan. Seperti Pasal 23 yang telah menyebutkan tentang pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Kemudian Pasal 49 yang menjelaskan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 31 yang mengatur secara rinci tentang iklan ruangan, Pasal 37 yang mengatur secara ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk, serta Pasal 47 yang mengatur terkait sponsorship.
Adapun tujuan revisi PP itu untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Namun, data yang dijadikan acuan oleh Kementerian Kesehatan adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa prevalensi perokok anak berada di angka 9,1 persen.
"Hal tersebut kontradiktif dengan data resmi Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak di bawah 18 tahun sudah turun selama lima tahun terakhir," jelasnya.
Benny mengatakan, berdasarkan data resmi BPS menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak umur di bawah 18 tahun telah turun dalam beberapa tahun terakhir menjadi 3,44 persen pada tahun 2022, dari angka 3,87 persen pada tahun 2019.
Dengan itu, Gaprindo menilai, metode dan proses survei yang seringkali dijadikan referensi oleh Kementerian Kesehatan juga tidak pernah disampaikan secara transparan.