Percepatan Transisi Energi Melalui Skema Power Wheeling Dinilai Tak Masuk Akal, Ini Alasannya
- bp.blogspot.com
VIVA Bisnis – Adanya skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dinilai membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Untuk itu, skema tersebut harus dikawal agar tak masuk dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (EBT).
Head Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menyebut, pasal hantu itu dapat dibaca sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Di mana sektor ketenagalistrikan merupakan sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.
"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujarnya Abra dikutip dari keterangannya, Kamis, 26 Januari 2023.
Abra pun berpendapat bahwa ada tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal siluman dalam RUU EBT tersebut atau pasal 29 A, pasal 47 A, pasal 60 ayat 5. Pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi porsi pembangkit EBT.
Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT. Sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPLT paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," tegasnya.
Kedua lanjutnya, pengusulan skema power wheeling kurang relevan, mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. Abra mengatakan, saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan kita sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik. Â Hingga akhir Tahun 2022 lalu saja oversupply menyentuh sekitar 7 GW.
"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW," katanya.
Ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, lanjut Abra, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW.
"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48GW - 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 144-168 triliun," pungkasnya.