Skema Perdagangan Karbon Diterapkan di 99 PLTU Mulai Awal 2023
- Harry Siswoyo/VIVAnews.
VIVA Bisnis – Sebanyak 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan melaksanakan skema perdagangan karbon secara komersial, mulai awal tahun 2023. Hal itu diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana.
Untuk diketahui, ada beberapa skema perdagangan karbon. Salah satunya adalah skema perdagangan karbon wajib. Ringkasnya, dalam skema ini perusahaan akan diberikan izin untuk menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau karbon kredit. Jika emisi yang dihasilkan di bawah kuota, maka perusahaan bisa menjualnya melalui pasar karbon. Begitu pun sebaliknya, jika melebihi kuota, maka wajib membeli kuota emisi perusahaan lain atau dikenakan denda yang besar.
"Jadi jumlah pembangkit yang berasal dari portofolio PLN ada 55 unit (PLTU), dan sisanya (44 unit) dari pembangkit listrik swasta," kata Dadan dalam telekonfrrensi di acara 'Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik', Selasa, 24 Januari 2023.
Dia menjelaskan, langkah itu dilakukan demi merealisasikan target pemerintah, dalam menekan sekitar 500.000 ton emisi karbon melalui skema perdagangan karbon di tahun 2023 ini.
Dadan menegaskan, target itu merupakan angka progresif terkait dengan upaya percepatan penurunan emisi dari sektor pembangkit listrik, seiring upaya penambahan opsi pembiayaan untuk sektor energi baru terbarukan (EBT).
Karena, data Kementerian ESDM mencatat bahwa 99 unit PLTU yang berpotensi ikut skema perdagangan karbon tahun ini, memiliki total kapasitas terpasang sebesar 33.569 megawatt (MW).
"Sementara, total kapasitas terpasang PLTU batu bara secara nasional, tercatat mencapai sekitar 39.016 MW," ujarnya.Â
Pemerintah menetapkan persetujuan teknis batas atas emisi (PTBAE) gas rumah kaca (GRK) yang masuk ke dalam sistem jaringan PLN, paling ketat di angka 0,911 ton CO2e untuk PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.Â
Selain itu, PTBAE diputuskan sebesar 1,011 ton CO2e per MWh untuk PLTU non-mulut tambang, dengan kapasitas terpasang 100 MW sampai sama dengan 400 MW. PTBAE sendiri telah ditetapkan 1,089 ton CO2e per MWh, Â untuk PLTU mulut tambang dengan kapasitas lebih besar dari 100 MW.Â
Sementara, PTBAE untuk PLTU mulut tambang diberikan sebesar 1,297 ton CO2e per MWh, dan untuk PLTU non-mulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 25 MW sampai sama dengan 100 MW.Â
"Semua akan tercatat. Misalnya, harusnya 100 tapi hanya bisa 80, maka saya akan tawarkan dua di belakangnya di tahun berikutnya dikurangi 20 karena masih punya utang 20. Kalau enggak, kita bawa aja terus, kita catat apakah dikonversi menjadi pajak karbon," ujarnya.