Struktur dan Skala Upah Tidak Diterapkan Perusahaan, Buruh Soroti Pengawasan dan Sanksi yang Lemah
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Bisnis – Kalangan serikat buruh menyoroti soal kewajiban penerapan struktur dan skala upah (SUSU) oleh perusahaan yang selama ini belum optimal. Buruh menilai nyaris tidak ada perusahaan yang menerapkannya dengan adil.
Padahal, ini diperlukan untuk menetapkan upah yang layak bagi pekerja atau buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti menegaskan, sebenarnya aturan soal struktur skala upah ini sudah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Kemudian, masalah tersebut bahkan kembali dibahas di dalam Pasal 29 Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Namun, Dian menegaskan bahwa dalam implementasinya, hampir tidak ada perusahaan yang menerapkannya secara adil.
"Struktur skala upah sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, namun dalam pelaksanaannya nyaris tidak ada perusahaan yang menerapkan," kata Dian saat dihubungi VIVA Bisnis, Selasa, 10 Januari 2023.
Bahkan, setelah hal tersebut kembali diatur dalam Permenaker Nomor 1 tahun 2017, kepatuhan terhadap struktur dan skala upah tidak ada perubahan.Â
"Artinya tidak ada pengawasan berarti terhadap pengusaha untuk melaksanakan struktur skala upah," ujarnya.
Dian menambahkan, faktor lainnya yang juga menyebabkan ketidakpatuhan para perusahaan dalam penerapan struktur skala upah itu, adalah karena sanksi yang tidak cukup membuat efek jera.
"Yaitu sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam pasal 12 Permenaker Nomor 1 tahun 2017," kata Dian.
Pelaksanaan UMPÂ Bahkan Masih Banyak Perusahaan yang Bandel
Selain itu, lanjut Dian, hal-hal semacam itu masih harus ditambah dengan situasi di mana tingkat kepatuhan perusahaan Indonesia terhadap pelaksanaan UMP sangat rendah. Bahkan, data Sakernas 2021 mencatat bahwa sebanyak 49,7 persen pekerja masih diupah di bawah UMP.
Karenanya, Dian menegaskan bahwa seluruh pengawas ketenagakerjaan di setiap kabupaten dan kota harus bekerja dengan baik, dan tidak mudah toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan semacam itu.
"Idealnya dibutuhkan 6.000 pengawas. Namun jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya 1.586, dan hanya terpusat di ibu kota provinsi," ujarnya.