Demand Industri Padat Karya Anjlok Picu Badai PHK, Pemerintah Perlu Perhatikan
- VIVAnews/Arrijal Rachman
VIVA Bisnis – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi di industri padat karya akibat permintaan yang turun signifikan. Wakil Ketua Umum III Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia, Shinta W. Kamdani mengatakan, ini harus menjadi perhatian bersama baik pemerintah serta seluruh elemen bangsa Indonesia.
Menurutnya, ketidakpastian ekonomi global yang terjadi saat ini dan ancaman resesi global pada tahun 2023 mendatang sudah sangat terasa di sejumlah sektor. Khususnya sektor padat karya yang mempekerjakan banyak sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja.
"Jadi sekarang sektor yang menjadi perhatian kita adalah sektor padat karya, karena sektor padat karya itu kan demand support-nya menurun signifikan," kata Shinta dalam 'Outlook Perdagangan Indonesia Tahun 2023' di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 20 Desember 2022.
Dia menjelaskan, sektor padat karya itu sudah menerima dampak yang sangat signifikan dari ketidakpastian global yakni berupa badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Hal itu dinilai sebagai dampak langsung dari menurunnya demand atau aspek permintaan, pada industri-industri padat karya tempat para korban PHK itu bekerja.
"Jadi industri tekstil, sepatu, furniture, itu bisa kita lihat bagaimana dampaknya terhadap mereka jika demand-nya turun. Maka ini kan pasti ke PHK," ujarnya.
Bahkan, Shinta mengaku Kadin Indonesia sudah mendapatkan laporan bahwa sampai saat ini total jumlah tenaga kerja di industri sepatu yang terkena badai PHK itu sudah mencapai 40 persen.
"Di industri sepatu itu kita dapat laporan (karyawannya) sudah turun sampai 40 persen, jadi PHK nya sudah terjadi nih. Jadi kekhawatiran kita ke depan seperti itu, yakni dari sisi PHK," kata Shinta.
Belum lagi, lanjut Shinta, laporan dari industri tekstil juga menyebut bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum, seakan membuat mereka makin susah di zaman serba susah seperti saat ini.
Di mana, beleid tersebut telah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 10 persen pada tahun 2023.
"Mereka (pelaku industri tekstil) komplain dengan adanya Permenaker 18 itu. Katanya, kita sudah jatuh ketiban tangga pula. Jadi basically, kondisi sudah sulit jadi tambah sulit lagi," kata Shinta.
"Jadi yang saya paling khawatirkan saat ini adalah mengenai masalah ketenagakerjaan di tahun 2023 mendatang. Karena adanya penurunan demand yang begitu tinggi pada sejumlah industri padat karya, dan menyebabkan terjadinya badai PHK," ujarnya.