Ketua OJK Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh 5% pada 2023, Meski Global Resesi
- Unsplash
VIVA Bisnis – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis perekonomian Indonesia akan tumbuh baik di tengah ancaman resesi pada 2023. Keoptimisan itu tumbuh sebab Indonesia memiliki pasar dalam negeri yang besar, sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memperkirakan, perekonomian Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada 2023 hingga 2024 akan tumbuh di kisaran 5 persen.
"Kenapa demikian, ini suatu anomali di tengah dunia yang berat kondisinya, bagaimana kok ini bisa? Jawabannya karena kita memiliki pasar dalam negeri dan pasar kawasan yang besar," kata Mahendra dalam dalam acara Sosialisasi dan Edukasi Perlindungan Konsumen, Senin 19 Desember 2022.
Dengan demikian, Mahendra mengatakan, pasar dalam negeri harus dioptimalkan dari sisi konsumsi, investasi, hingga belanja pemerintah.
"Dalam konteks pertumbuhan sektor riil perekonomian domestik artinya pertumbuhan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia. Indonesia selain demografinya yang muda, keunggulan luar biasanya adalah diversifikasi dari industri, sumber pertumbuhan ekonomi dan juga variasinya tidak ada saingannya," jelasnya.
"Sini kena sana naik, sini turun sini yang naik. Dan variasi itu yang membuat Indonesia jauh lebih kuat daya tahannya dari perekonomian global seperti apapun," tambahnya.
Namun, Mahendra mengingatkan untuk tidak berpuas diri atas kondisi ini. Dia meminta agar memanfaatkan pertumbuhan ekonomi baru di daerah atau kawasan yang selama ini belum terjangkau dengan baik.
Ancaman atas kondisi saat ini terjadi dalam berbagai hal, setelah pandemi COVID-19 dunia sedang diuji oleh konflik geopolitik. Dari itu telah menyebabkan masalah bagi perekonomian dunia.
"Geopolitik yang semula hanya persaingan antara negara-negara utama nampaknya sudah bergeser menjadi di Eropa ada perang yang sesungguhnya, dan di tempat lain tingkat persaingan geopolitik makin berat. Sehingga memengaruhi sistem logistik dan rantai pasok," ujarnya.
Menurutnya, saat ini antara Amerika Serikat (AS) dan RRT terlihat sudah berkeinginan untuk memisahkan diri dari satu rantai pasok yang sama.
"Ini menambah beban perekonomian global yang sudah kena stagflasi di tingkat negara negara maju dengan risiko yang disebabkan geopolitik yang makin berat," katanya.
Adapun untuk ketegangan geopolitik ini diperkirakan masih lama untuk mereda. "Para analis geopolitik mengatakan tidak akan selesai persoalan persaingan geopolitik di antara negara besar ini kurang dari 10 tahun ke depan," imbuhnya.