Kelompok Pengusaha Gugat Upah Minimum 2023 ke MA, Ini Alasannya
- ANTARA FOTO
VIVA Bisnis – Kelompok pengusaha yang tergabung dalam sepuluh asosiasi resmi menggugat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam gugatan yang dilayangkan tersebut, ada enam peraturan perundangan, termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai dilanggar oleh Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut. Hal itu diungkapkan oleh Denny Indrayana sebagai kuasa hukum dari Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) Law Firm.
"Permohonan keberatan tersebut telah dibayarkan biaya perkaranya, dan tinggal menunggu proses administrasi di MA, sebelum disidangkan," kata Denny dalam keterangannya, Selasa 29 November 2022.
Denny mengungkapkan, uji materi diajukan oleh sepuluh asosiasi pengusaha di antaranya Apindo, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO).
Kemudian, Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (HIPPINDO). Berikutnya, Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Denny menjabarkan, keenam aturan yang dilanggar oleh Permenaker itu yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Serta keenam, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022.
Denny menegaskan bahwa Permenaker 18 Tahun 2022 menambah dan mengubah norma yang telah jelas mengatur soal upah minimum di dalam PP Pengupahan. Sehingga Permenaker tersebut bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
"Lebih jauh, Menteri Ketenagakerjaan tidak berwenang untuk mengambil alih otoritas Presiden untuk mengatur upah minimum yang sudah ada jelas didelegasikan pengaturannya ke dalam PP Pengupahan," jelasnya.
Selain itu kata dia, pengubahan kebijakan melalui Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut dilakukan mendadak tanpa sama sekali melibatkan para stakeholder, termasuk tanpa ada pembahasan dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional.
"Kesemuanya menyebabkan dilanggarnya prinsip kepastian hukum, sekaligus menghadirkan ketidakpastian yang memperburuk iklim investasi nasional," ujarnya.
Denny menyatakan, para pemohon atau pengusaha meminta kepada Mahkamah Agung untuk menunda pelaksanaan Permenaker 18 Tahun 2022, agar mengurangi ketidakpastian, dan memohon MA segera memutuskan pengujian tersebut yang sangat penting bagi kelangsungan usaha di tanah air.