Harga Minyak Anjlok Usai Data Permintaan China Loyo dan Dolar Makin Kuat
- Dok. Pertamina
VIVA Bisnis – Harga minyak dunia diperdagangkan lebih rendah dan bergejolak pada Selasa pagi, hal itu usai data permintaan China yang tetap lesu pada September 2022 dan menguatnya dolar AS. Selain itu, data aktivitas AS yang melemah mengurangi ekspektasi kenaikan suku bunga yang lebih agresif.
Dilansir dari CNBC pada Selasa 25 Oktober 2022, harga minyak brent untuk pengiriman Desember 2022 turun 3 sen atau 0,03 persen ke level US$93,47 per barel. Sedangkan, minyak mentah AS atau West Texas Intermediate (WTI) turun 20 sen atau 0,24 persen ke level US$84,85 per barel.
Sementara itu, berdasarkan data bea cukai meski impor minyak mentah China lebih tinggi pada Agustus, namun pada September impor minyaknya hanya sebesar 9,79 juta barel per hari atau turun 2 persen di bawah tahun sebelumnya. Hal itu, tentunya disebabkan oleh permintaan yang lesu.
Baca juga: Inflasi Buat Rupiah Melemah Rp 15.590 per Dolar AS
“Pemulihan baru-baru ini dalam impor minyak tersendat pada bulan September,” kata analis ANZ dalam sebuah catatan. Ia juga menilai, pemintaan yang lesu itu imbas dari penguncian COVID-19 yang masih berlangsung di China dan membebani permintaan.
Selain itu, ketidakpastian atas kebijakan nol COVID China dan krisis properti merusak efektivitas langkah-langkah pro pertumbuhan.
Lalu, penguatan dolar AS yang sedang berlangsung juga menimbulkan masalah bagi harga minyak. Dolar yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli non-AS.
"Penguatan dolar lebih lanjut akan membebani nilai WTI dengan uji penurunan yang kami harapkan ada di 79,50 kemungkinan pada akhir minggu," kata Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates.
Sebelumnya, harga minyak kembali menguat setelah data menunjukkan aktivitas bisnis AS mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut pada Oktober. Di mana produsen dan perusahaan jasa dalam survei bulanan mencatat bahwa permintaan klien yang lebih lemah.
Sedangkan, S&P Global mengatakan Indeks Output IMP Komposit AS, yang melacak sektor manufaktur dan jasa, turun menjadi 47,3 bulan ini dari pembacaan akhir 49,5 pada September.
Pelemahan itu dapat menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga Federal Reserve AS untuk melawan inflasi telah berhasil dan dapat membujuknya untuk memperlambat kebijakan kenaikan suku bunganya dan itu menjadi sinyal positif untuk permintaan bahan bakar minyak.
“Kehilangan angka PMI adalah tanda bahwa ekonomi mungkin sedikit melambat, yang ternyata menjadi bullish,” kata Analis Grup Price Futures Phil Flynn.
Diketahui, Brent naik pekan lalu meskipun Presiden AS Joe Biden mengumumkan penjualan sisa 15 juta barel minyak dari Cadangan Minyak Strategis, bagian dari rekor pelepasan 180 juta barel yang dimulai pada Mei.
Biden menambahkan bahwa tujuannya adalah untuk mengisi kembali stok ketika minyak mentah AS berada di sekitar US$70 per barel. Tapi Goldman Sachs mengatakan rilis saham tidak mungkin berdampak besar pada harga.