Gubernur BI Bicara Penguatan Dolar AS Dampak dari Kenaikan Suku Bunga The Fed
- VIVA/Anisa Aulia
VIVA Bisnis – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan, bank sentral di banyak negara masih akan agresif dalam melakukan pengetatan moneter. Sebab, tekanan inflasi dan gangguan rantai pasokan masih terus berlanjut.
Perry mengatakan, pertumbuhan ekonomi global di 2023 akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Bahkan beberapa negara serta negara maju akan mengalami risiko resesi.
"Revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa, dan juga di Tiongkok," kata Perry dalam telekonferensi, Kamis 20 Oktober 2022.
Perry menjelaskan, perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi. Serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Adapun dampak dari fragmentasi ekonomi global itu kata dia, diperkirakan akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara berkembang atau emerging market.
"Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan. Sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif," ujarnya.
Suku Bunga The Fed Diperkirakan Naik dan Mendorong Penguatan Dolar AS
Dia juga memperkirakan, kenaikan suku bunga the Fed masih akan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang. Sehingga dengan itu akan mendorong penguatan mata uang dolar.
Perry melanjutkan, maka dengan menguatnya mata uang dolar AS akan memberikan tekanan pelemahan atau depresiasi terhadap nilai tukar di beberapa negara, tidak terkecuali Indonesia.
"Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, dan di negara berkembang termasuk Indonesia. Diperberat pula dengan aliran keluar investasi portofolio asing," ungkapnya.