Luhut Sebut Harga Minyak Dunia Bisa Tembus US$200 per Barel

Foto ilustrasi minyak dunia
Sumber :

VIVA Bisnis – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyebut harga minyak dunia bisa menembus angka US$200 per barel. Salah satu penyebabnya adalah negara-negara pengekspor minyak (OPEC+) yang sepakat memangkas produksi minyaknya hingga dua juta barel per hari.

Luhut: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian di Timur Tengah

Selain itu, kondisi Rusia yang saat ini masih berperang dengan Ukraina juga ikut memengaruhi. Karena tak menutup kemungkinan, produksi minyak Rusia juga akan terpengaruh akibat konflik tersebut.

"Sekarang kan kita masih enggak mengerti. Kalau sekarang Rusia menghentikan produksi minyaknya, apa yang terjadi? Nah, skenario itu harus dihitung," kata Luhut di JCC Senayan, Jakarta, Rabu 12 Oktober 2022.

Energi Mega Persada Jajaki Akuisisi Blok Migas Baru pada 2025

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B Panjaitan

Photo :
  • YouTube RGTV channel ID

Jika kemungkinan-kemungkinan buruk juga terjadi pada Rusia akibat perang dengan Ukraina, Luhut mengatakan bahwa bisa saja harga minyak juga akan melonjak tinggi akibat hal tersebut.

Inovasi untuk Dongkrak Produksi

"Kalau dia (Rusia) jengkel, dia bilang tidak ada (produksi minyak), ya naik itu minyak US$200 dolar (per barel), itu bagaimana?" ujarnya.

Diketahui, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi minyak sebanyak 2 juta barel per hari mulai November 2022 mendatang, harus diwaspadai oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Pemangkasan produksi ini menurutnya bisa memicu harga minyak dunia tetap tinggi, yakni di atas US$90 per barel. Karena, keputusan OPEC+ itu juga bertolak belakang dengan harapan negara-negara berkembang, yang berekspektasi bahwa harga minyak dunia akan stabil, adil, dan terjangkau.

"Kita dikejutkan keputusan yang diambil OPEC untuk memotong produksi yang membuat harga minyak bertahan di atas US$90. Tentu ini counter kebijakan yang diharapkan negara berkembang agar energi bisa berkeadilan dan affordable, tetapi yang diambil justru sebaliknya," kata Airlangga.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya