Genjot Transisi Energi, HSBC Janji Percepat Pembiayaan Industri
- U-Report
VIVA Bisnis – Bank Pembangunan Asia mencatat perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini. Indonesia pun tak luput dari ancaman itu, dan memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim.
Karena itu Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan, pihaknya berkomitmen penuh untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi. Serta, pembangunan dengan prinsip berkelanjutan.
“Kami sangat senang bahwa transisi energi menjadi salah satu priorotas Pemerintah Indonesia pada Presidensi G20. Kami juga mendukung sejumlah inisiatif dan juga kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah untuk mempercepat transisi pembangunan yang rendah karbon,” kata Francois saat memberikan kata sambutan dalam acara HSBC Summit 2022: Powering The Transition to Net Zero, Indonesia’s Pathway for green recovery di Jakarta, Rabu, 14 September 2022.
Francois menambahkan, untuk mempercepat transisi energi diperlukan modal yang besar. Tidak hanya meningkatkan investasi di sector teknologi yang rendah karbon tetapi juga memberikan insentif ke sektor lain agar bisa menjadi lebih hijau dengan biaya yang tidak mahal.
Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp 4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN.
Karena itu, kata Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Namum, transisi pembiayaan harus dipimpin Pemerintah difasilitasi oleh bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil.
"Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari GDP pada 2023 akibat krisis perubahan iklim.
Sri Mulyani mengatakan, tanda-tanda terjadinya krisis perubahan iklim bisa dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3 persen dari 2010-2018. Kemudian, suhu udara yang naik 0.03 derajat Celcius tiap tahun serta tinggi permukaam laut yang naik 0,8-1,2 cm.
“Pada 2030, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi akibat krisis perubahan iklim sebesar 0,6 – 3,45 persen dari GDP. Salah satu institut di Swiss membuat laporan bahwa dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10 persen jika kesepakatan Paris Agreement untuk mencapai emisi nol pada 2050 tidak tercapai,” jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari pandemi COVID-19. Antara lain semua negara harus saling bekerja sama. Hal tersebut juga berlaku untuk perubahan iklim karena tidak ada satu negara pun yang tidak terkena dampaknya.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, berkomitmen untuk mengurangi emisi lewat kesepakatan Paris Agreement yaitu menurunkan 29 persen emisi C02 dengan upaya sendiri serta 41 persen CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.