Tak Untungkan Petani dan Masyarakat, Pungutan Sawit Perlu Dievaluasi
- vstory
VIVA Bisnis – Sengkarut di industri sawit tampaknya tak bisa reda begitu saja. Sebab, setelah redanya harga minyak goreng, kini di sisi hulu timbul masalah yaitu anjloknya harga beli tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani.
Di mana TBS sawit di tingkat petani yang rata-rata masih berada di kisaran Rp1.200 per kg. Hal itu, jauh lebih rendah ketimbang harga TBS sawit di Malaysia yang saat ini setara dengan Rp4.500 per kg.
Atas kondisi tersebut Kemenkeu merespons dengan menyetop sementara pungutan ekspor sawit dengan harapan gairahkan lagi ekspor sawit nasional sehingga pabrik bisa melepas cadangan yang hanya tersimpan di tangki penyimpanan.
Baca juga: Maaf Pertalite Habis! Pasokan Mulai Langka?
Tak hanya itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga menargetkan harga TBS sawit petani bisa naik setidaknya ke angka Rp2.400 di akhir Agustus, atau di periode relaksasi pungutan sawit ini berakhir.
Sayang, masalah industri sawit sepertinya belum akan tuntas terurai kala pungutan ekspor sawit ini diterapkan awal bulan depan. Karena disinyalir, akar masalahnya justru ada di pengelolaan dan sawit itu sendiri.
Peneliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pengelolaan dana sawit saat ini tidak sejalan dengan ide utama ketika pungutan ekspor sawit ini direncanakan.
"Pemanfaatan dana dari kelapa sawit saat ini bisa dibilang jauh dari kata 'bagus' bahkan cenderung 'kacau balau'," tegas Nailul kepada media, dikutip Selasa 9 Agustus 2022.
Ia menuturkan, ada sejumlah aspek penilaian yang menjadi sorotan. Selain tidak tepat sasaran, Ia memandang, pemanfaatan dana sawit saat ini hanya menguntungkan segelintir pihak.
"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," sebut dia.
Pemerintah, lanjut dia, hanya fokus pada pengembangan biodiesel dengan porsi yang cukup besar. Di sisi lain, aspek lain seperti pemberdayaan petani malah mendapat porsi yang minim.
"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," tegas dia.
Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.
"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.
"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutaman setelah kejadian fenomenal kemarin di mana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.