Sri Lanka Bangkrut Gara-gara Utang, Hal Ini Mesti Diwaspadai RI

Rakyat Sri Lanka duduki kantor Presiden Gotabaya Rajapaksa tuntut lengser
Sumber :
  • AP Photo/Eranga Jayawardena

VIVA Bisnis – Presiden Jokowi telah berulang kali mengingatkan soal adanya potensi dan ancaman krisis ekonomi, yang bakal menyapu sejumlah negara seperti Sri Langka. Bahkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengakui bahwa risiko inflasi, resesi, dan stagflasi, juga tengah mengintai perekonomian Indonesia saat ini.

Bahlil: Saya Satu-satunya Ketum Golkar yang Pernah Makan Beras Subsidi

Lalu, apa saja indikator krisis ekonomi sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka, yang saat ini harus diwaspadai oleh Indonesia?

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov menjelaskan, indikator pertama yang mesti dicermati adalah kekuatan atau ketahanan ekonomi sebuah negara, baik dari sisi pendapatan negara maupun dari sisi ekspor.

Kabar Gembira Bagi yang Ingin Membeli Motor Listrik

Baca juga: Progres Sudah di Atas 70 Persen, Begini Penampakan Baru TMII

"Dari sisi pendapatan negara, Sri Lanka ini awalnya sangat jor-joran kepada masyarakat untuk memberikan bantuan subsidi. Tetapi di sisi lain, pendapatan negara tidak mendukung untuk pengeluaran. Jadi besar pasak daripada tiang," kata Abra saat dihubungi VIVA Bisnis, Kamis 14 Juli 2022.

Ekonomi Nasional Hadapi Jatuh Tempo Utang Pemerintah Era COVID-19 dan Ancaman Krisis Finansial

Dia menjelaskan, pola ini selalu terjadi dari tahun ke tahun di Sri Lanka. Sehingga, hal itu melenakan publik dan pemerintah, karena mereka sangat mengandalkan ketahanan ekonomi dari pinjaman ataupun utang. "Terutama utang luar negeri," ujarnya.

Indikator yang kedua adalah dari sisi kemampuan negara tersebut mencetak devisa dari perdagangan internasional. Karena, Sri Lanka sebelumnya juga sangat ketergantungan terhadap produk impor, sehingga mereka selalu mengalami defisit neraca perdagangan.

Utang Luar Negeri Indonesia.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

"Dua hal itu akhirnya menjadi bom waktu ketika harga-harga komoditas melonjak, namun kebutuhan terhadap pangan dan energi sangat mengandalkan impor. Sehingga, Sri Lanka beberapa bulan lalu tidak memiliki cadangan devisa yang cukup, untuk bisa membeli kebutuhan kebutuhan impornya tadi," kata Abra.

Selain itu, valuta asing Sri Lanka juga sangat terbatas, sehingga kebutuhan pangan dan energi tidak bisa dipasok kepada masyarakat. Hal itulah yang menyebabkan inflasi di Sri Lanka melonjak sampai 50 persen lebih.

Ketika pasokan pangan, energi, dan obat-obatan itu terbatas, sementara masyarakat tidak bisa mengakses barang-barang strategis tersebut, maka muncul kemarahan masyarakat. Di mana, masalah yang tadinya berasal dari dimensi krisis ekonomi, kemudian bertransformasi ke krisis sosial dan krisis politik.

"Ini harus jadi pelajaran penting bagi Indonesia dan juga banyak negara-negara lain, yang saat ini tengah menghadapi situasi yang sama," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya