Pendataan Lewat MyPertamina Tepat, Antisipasi Kuota BBM Subsidi Jebol

Aplikasi MyPertamina.
Sumber :
  • Instagram @mypertamina

VIVA Bisnis – Inisiatif Pertamina melakukan pendataan digital kendaraan yang mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan pertalite dinilai sebagai langkah antisipatif membatasi penjulaan BBM bersubsidi. Diharapkan langkah tersebut dapat menekan konsumsi BBM subsidi yang ditengarai bakal melebih kuota

Ini Solusi yang Ditawarkan 3 Cawagub untuk Atasi Banjir di Jakarta

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov mengatakan dengan Pertamina membangun database monitoring, maka diharapkan terbentuk kesadaran masyarakat mampu yang seharusnya malu jika mengonsumsi BBM bersubsidi.

Ia mengungkapkan, apabila tidak ada pembatasan pembelian BBM bersubsidi,  potensi terjadinya overkuota sangat besar. Bahkan berdasarkan kalkulasi, untuk solar hingga akhir tahun ada potensi over kuota sekitar 15 persen dari kuota 14,91 juta KL menjadi 17,2 juta KL. Sementara itu, pertalite berpotensi over sekitar 24 persen dari alokasi 23,05 juta KL, menjadi sekitar 28 juta KL. 

6 Desa Terdampak Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki Akan Direlokasi, Ini Alasannya

“Itu kalau tidak ada pembatasan dan tidak ada tambahan kuota. Ini siapa yang harus menanggung selisih harga dan potensi kerugian? Badan usaha yang menanggung?,” kata Abra melansir Antara, di Jakarta, Rabu 13 Juli 2022. 

Baca juga: Sri Mulyani: Ancaman Inflasi Kini Sensitif Bagi Politik Suatu Negara

Polri Lakukan Kegiatan Pemulihan Trauma ke Anak-anak Korban Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki

Menurut dia, ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah apabila konsumsi BBM penugasan jenis pertalite melebihi kuota. Hal ini otomatis menambah pengeluaran APBN karena barang penugasan harus mendapatkan kompensasi. 

”Makanya sebetulnya terobosan pendataan yang dilakukan Pertamina adalah untuk mengantisipasi apabila nanti pada Oktober-November 2022, kuota BBM susbsidi-penugasan sudah terlampaui,” ujar dia. 

Abra menyarankan pemerintah segera mengambil keputusan, menambah kuota atau dengan pembatasan pembelian. Saat ini ‘bola’ terkait upaya penyaluran subsidi ada di tangan pemerintah. Dengan demikian, harus ada kepastian bagaimana keingin pemerintah dalam menjaga stabilitas harga energi dan menjaga inflasi. 

“Apakah all out menambah kuota BBM subsidi atau memang balance, tetap memberikan subsidi kompensasi dibarengi pengendalian BBM subsidi,” katanya. 

Terkait platform digital untuk melakukan registrasi pengguna BBM subsidi, lanjut Abra, hal ini dilakukan agar paling tidak bisa sedikit memberikan pesan kepada masyarakat bahwa pemerintah memiliki keinginan melakukan pengendalian subsidi bbm bersubsidi. 

“Tapi harusnya bisa lebih fundamental harus ada kebijakan solid dan tegas,” katanya. 

Abra mengungkapkan, agar subsidi BBM tepat sasaran harus ada reformasi subsidi menjadi bersifat tertutup sehingga sasarannya langsung kepada individu atau rumah tangga. 

Secara terpisah, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti, mengungkapkan apabila pemerintah masih menganggarkan subsidi, artinya pemerintah siap dengan biaya yang memang akan semakin besar. 

“Jika saya lihat, pemerintah dan DPR masih tetap akan mempertahankan subsidi BBM untuk menjaga konsumsi dan dan popularitas politik hingga pemerintah Jokowi berakhir,” katanya. 

Uji coba pembelian pertalite dan solar daftar lewat MyPertamina di Sumbar

Photo :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

 

Yayan menilai pemerintah sangat mementingkan stabilitas konsumsi. Jika pun ekonomi jatuh atau kolaps, model subsidi ini akan selalu dijaga oleh pemerintah guna mengiringi dampak countercyclical pada sisi konsumsi. 

“Kita memang akan membakar BBM yang lebih banyak dan subsidi lebih banyak, tetapi itu akan menahan konsumsi dan mengangkat supply menjadi lebih besar,” ujar dia. 

Akan tetapi, lanjut Yayan, kebijakan mempertahankan subsidi harus dikombinasikan dengan kebijakan moneter dari BI yang juga harus menjaga nilai tukar dan inflasi. 

“Saya kira mempertahankan konsumsi (kontribusi konsumsi 50-55 persen dari GDP) saat ini lebih baik dari pada turun karena jika turun produktivitas akan turun,” ujarnya.

Yayan melanjutkan, apabila melihat harga keekonomian pertamax yang di kisaran Rp18.000-19.000 dan pertalite di Rp16.000-Rp17.000, kondisi beban subsidi saat ini berat. Apalagi nilai kurs tukar dolar terhadap rupiah saat ini mencapai Rp15.000 per dolar AS. (Ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya