Pangkas Beban Subsidi Energi, Ini Pekerjaan Rumah Pemerintah

Ilustrasi Nozzle BBM.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA Bisnis – Laporan Kementerian Keuangan mencatat, total subsidi dan kompensasi sektor energi pada 2022 mencapai Rp502,4 triliun. Hal itu dilakukan guna menambal selisih harga jual BBM secara keekonomian, dengan harga subsidi. Karena, Pertamina dan PLN tidak bisa menjual produknya sesuai harga keekonomian.

Beban subsidi yang ditanggung pemerintah itu disebut-sebut sudah sangat berat. Apalagi, ada pula tambahan subsidi Rp74,9 triliun, dari alokasi awal sebesar Rp152 triliun. Di mana, jumlah itu dibagi pada subsidi BBM sebesar Rp71,8 triliun dan subsidi listrik Rp3,1 triliun.

Karenanya, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah mengetatkan pembatasan pembelian BBM bersubsidi (solar dan Pertalite) melalui pendaftaran, yang prosesnya dimulai per 1 Juli 2022 kemarin, sudah cukup tepat.

Baca juga: Harga Cabai Tembus Rp100 Ribu per Kg, Ini Kata Mentan

"Pada prinsipnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah terus melakukan pembatasan dulu ya (terhadap energi-energi yang disubsidi). Seperti misalnya mekanisme yang saat ini dilakukan melalui pembatasan pembelian Pertalite," kata Mamit saat dihubungi VIVA, Senin 4 Juli 2022.

Untuk lebih meringankan beban subsidi pemerintah di sektor energi, Mamit menilai bahwa ke depannya langkah pengetatan pembatasan serupa juga dapat diterapkan bagi LPG 3 Kg.

"Saya kira ke depan untuk LPG 3 kg juga perlu dilakukan pembatasan, karena saat ini jumlahnya (subsidi) juga cukup signifikan, sehingga perlu ada pembatasan dan pengetatan kembali supaya bisa benar-benar tepat sasaran," ujarnya.

Selanjutnya, Mamit berpendapat bahwa jika PLN sudah melakukan penyesuaian tarif (tariff adjustment) terhadap pelanggan listrik non-subsidi golongan 3.500 VA ke atas, maka hal serupa juga bisa dilakukan dengan menyasar pelanggan dari golongan bisnis dan industri. 

Dukung Aquabike 2024, Pertamina Sediakan Puluhan Ribu Liter BBM Berkualitas untuk Pembalap

Dia mengatakan, besaran kompensasi yang juga harus dibayarkan oleh pemerintah bagi para pelanggan golongan bisnis dan industri ini, juga sudah cukup besar dan membebani keuangan negara.

"Karena ini yang termasuk menyerap dana kompensasi yang cukup besar, sehingga perlu dipertimbangkan jika pemerintah ingin melakukan penghematan," kata Mamit.

Empat Tahun Tanpa Listrik, Warga Sebuku Titip Harapan ke Egi-Syaiful: Kami Lama Tak Diperhatikan

Petugas PLN saat memeriksa meteran listrik di suatu rumah susun di Jakarta.

Photo :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Saat ditanya apakah menaikkan tarif listrik bagi sektor bisnis dan industri alam berdampak pada perlambatan pemulihan ekonomi bahkan berpengaruh ke inflasi, Mamit pun tak menyangkal hal tersebut. 

Aismoli Minta Pemerintah Berikan Subsidi Motor Listrik Jangka Panjang

Karenanya, dia berharap langkah menaikkan tarif listrik bagi pelanggan bisnis dan industri itu dilakukan mulai tahun 2023. Harapannya, saat itu ekonomi nasional juga sudah benar-benar kembali pulih.

"Jadi saat tahun depan ketika ekonomi sudah mulai pulih, untuk sektor industri dan bisnis sudah siap untuk menerima adanya tariff adjustment," ujar Mamit.

"Ketika biaya pokok produksi mengalami kenaikan, pasti akan berdampak terhadap kenaikan harga yang harus dirasakan juga oleh masyarakat. Dampak terhadap inflasi pasti ada, tapi mudah-mudahan tidak akan terlalu berdampak besar atau signifikan," ujarnya.

Diketahui, berikut adalah tarif listrik yang berlaku bagi pelanggan PLN golongan Bisnis dan Industri saat ini:

Bisnis:

  • Golongan B-2/ TR daya 6.600 VA-200 kVA, Rp 1.444,70 per kWh.
  • Golongan B-3/ Tegangan Menengah (TM) daya di atas 200 kVA, Rp 1.114,74 per kWh.

Industri:

  • Golongan I-3/ TM daya di atas 200 kVA, Rp 1.114,74 per kWh.
  • Golongan I-4/ Tegangan Tinggi (TT) daya 30.000 kVA ke atas, Rp 996,74 per kWh.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya