Ekonom Ungkap Dampak Sinyal Resesi AS ke RI, KSSK Harus Siapkan Ini

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi/Realisasi Investasi.
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Saat ini dunia tengah berada dalam ancaman krisis ekonomi. Itu dibuktikan dengan beberapa negara yang telah mengalami inflasi dari naiknya harga komoditas, utamanya Amerika Serikat yang dikabarkan akan mengalami resesi.

Inflation Anxiety Bikin Gak Tenang? Ini 7 Tips Ampuh untuk Mengatasinya

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, untuk Indonesia nantinya dampak sinyal resesi terhadap perekonomian diantaranya, dari keluarnya modal asing di pasar surat utang.

“Karena spread antara Yield SBN dan Yield Treasury di tenor yang sama semakin menyempit. Investor asing cenderung mengalihkan dana ke negara maju, memicu capital outflow di emerging market,” ujar Bhima saat dihubungi VIVA, Senin 20 Juni 2022.

Bursa Asia Fluktuatif saat Investor Tunggu Data Penting dari China dan Jepang Pekan Ini

Baca juga: 15 Pejuang BI Bareng TNI AL Keliling Sebar Rupiah ke Pulau 3T Papua

Kemudian dampak kedua, Bhima mengatakan terjadinya penyempitan likuiditas karena bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pasca pandemi melandai. Tetapi hal itu terhalang kenaikan tingkat suku bunga.

Perekonomian Global Masih Stagnan, OJK Waspadai Dampaknya ke Perbankan RI

“Perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke SBN. Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan,” jelasnya.

Bhima melanjutkan, ketiga dari kenaikan suku bunga the Fed rentan untuk diikuti oleh negara berkembang. Karena tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap dalam menghadapi kenaikan bunga pinjaman.

“Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansi nya,” ungkapnya.

Untuk yang keempat, imported inflation atau salah satu jenis inflasi yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar. Itu akan berakibat dengan membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi.

“Situasi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indeks dolar mengalami kenaikan 8,7 persen secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan baku nya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur,” terangnya.

Ilustrasi resesi global

Photo :
  • U-Report

Melalui hal itu, Bhima menjelaskan Pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu melakukan beberapa hal dalam jangka pendek. Hal itu diantaranya, melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya.

“Terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif (Fed rate naik lebih 4 kali setahun),” ujar Bhima.

Selain itu, Dia menyarankan agar Bank Indonesia (BI) segera menaikan suku bunga di 50 basis poin. Di mana hal itu sebagai langkah pre-emptive menghadapi tekanan inflasi di semester II 2022.

Selanjutnya, memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario bail in. Dan ditambah dengan memberi insentif lebih besar bagi pelaku ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah.

“Tingkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi,” terangnya.

Bhima juga menegaskan BI, OJK, dan Kemenkeu juga harus bersinergi. Karena ketiganya merupakan pemain utama yang penting. 

“Hubungan fiskal hingga moneter harus kompak jangan ada ego sektoral yang hambat harmonisasi kebijakan," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya