Pengamat Jelaskan Alasan Panas Bumi Bisa Jadi Beban Dasar di RI

PLTP Kamojang.
Sumber :
  • istimewa

VIVA – Dalam upaya mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), potensi pengembangan panas bumi bisa menjadi sumber daya alam prioritas. Sebab, cadangan yang besar membuat EBT miliki keunggulan dari jenis EBT lainnya.

PLTP Patuha Setor Rp200 Miliar per Tahun, Pemerintah Kian Perkuat Transisi ke Energi Hijau

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan panas bumi bisa menjadi beban dasar atau baseload karena tidak menghadapi masalah intermitensi. Di tambah cadangan panas bumi di Indonesia cukup besar sekitar 23,7 Gigawatt.

Untuk itu, kata Komaidi, pengembangan energi primer dari energi fosil ke EBT dengan gunakan panas bumi sebagai skala prioritas tidaklah berlebihan. Dan panas bumi seharusnya menjadi potensi yang mendapatkan perhatian lebih. 

PLTP Patuha Unit 2 Beroperasi di 2027, Bakal Tingkatkan Kontribusi 2 Kali Lipat

Baca juga: Pengamat Ini Usul Subsidi BBM Diganti ke Transportasi Publik

“Pemanfaatan saat ini saja masih jauh dari jumlah cadangan yang terbukti,” jelas Komaidi kepada media, Senin 13 Juni 2022.

Capaian Transformasi PLN Indonesia Power Pasok Energi Andal dan Dukung Target NZE

Seperti diketahui, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,965 GW. Potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera, yakni sebesar 9,679 GW. 

Meski Sumatera punya potensi terbesar, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terpasang di Sumatera baru 562 Megawatt (MW) atau 5,8 persen dari total potensinya. Artinya, masih ada sekitar 94 persen potensi yang belum digarap. 

Sedangkan di Pulau Jawa, potensi panas bumi sebesar 8,107 GW. PLTP yang terpasang baru berkapasitas 1.254 MW atau 15,5 persen dari potensinya. Sedangkan Sulawesi dengan potensi panas bumi 3,068 GW. Namun, PLTP yang terpasang baru 120 MW atau 3,9 persen dari potensinya. 

Lalu, Nusa Tenggara, potensi panas bumi 1,363 GW dan kapasitas terpasang 12,5 MW. Sementara itu, Maluku memiliki potensi 1,156 GW, Bali 335 MW, Kalimantan 182 MW, dan Papua 75 MW. Belum ada kapasitas terpasang PLTP di keempat pulau tersebut. 

Sedangkan, dalam RUPTL PLN 2021-2030, pembangkit EBT mencapai 20,9 GW atau 51 persen lebih tinggi dari energi fosil (thermal) sebesar 19,7 GW. Dari 20,9 GW itu, 10,4 GW dari PLTA dan 3,4 GW dari panas bumi. 

"Saya kira justru ada potensi (panas bumi) untuk dapat ditingkatkan besaran targetnya,” ujarnya.

PLTP Kamojang.

Photo :
  • Dok. Pertamina

Pakar ekonomi energi dari Universitas Trisakti itu mengatakan, meskipun panas bumi memiliki cadangan besar, tidak mudah untuk memonetisasinya. 

Menurut dia, kunci utama dalam pengembangan semua jenis EBT termasuk panas bumi ada di PLN karena BUMN di sektor ketanagalistrikan itu adalah pembeli tunggal atau monopsony. 

Jadi, lanjut dia, jika PLN tidak bersedia membeli dengan berbagai justifikasi, pengembang EBT tidak punya pilihan atau opsi lain untuk menjualnya.

"Salah satu upaya yang dapat dilakukan memberikan ruang agar pengembang bisa menjual listrik selain kepada PLN. Jika hal tersebut dapat dilakukan saya kira pengembangan EBT tidak hanya bergantung pada PLN,“ ujar Komaidi.

Sementara itu, Direktur Mega Proyek dan EBT PLN, Wiluyo Kusdwiharto, menjelaskan pembangunan pembangkit EBT sangat menantang bagi PLN. Hal itu disebabkan oleh kondisi kelebihan pasokan yang dialami PLN. 

Dia optimistis dengan kerja sama para stakeholder dan para pihak, nantinya tumbuh permintaan (demand). Apalagi saat ini demand mulai tumbuh 8 persen. 

“Sesuai prediksi kami, ke depannya akan tumbuh signifikan sehingga dapat mengakselerasikan pembangunan pembangkit renewable baru,” ujarnya pada Acara Bincang-bincang METI yang merupakan rangkaian kegiatan Launching The 11th Indoensia EBTKE Conference and Exhibition 2022, baru-baru ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya