Berpengalaman 39 Tahun, RI Siap Dekarbonisasi Pakai Panas Bumi

PLTP Kamojang.
Sumber :
  • Dok. Pertamina

VIVA – Energi panas bumi yang bersih, aman dari sisi pasokan dan harga terjangkau menjadi alternatif energi terbaik bagi Indonesia. Bahkan, panas bumi cukup cerah diterapkan di Tanah Air di tengah pelaksanaan transisi energi.  

Simak Sederet Promo di Serambi MyPertamina untuk Konsumen saat Nataru

Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat mengatakan dalam pengembangan panas bumi, Indonesia telah berpengalaman selama 39 tahun yang dimulai dengan PLTP Kamojang pada 1983. 

Selain itu, kata Rachmat, Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Sehingga, Indonesia dapat melakukan peralihan menuju energi bersih.

Pertamina Jamin Kualitas Pertamax untuk Kendaraan Bermotor

Baca juga: Tarif Listrik 3.000 VA Bakal Naik, Intip Dampaknya pada Inflasi

“Indonesia juga dituntut untuk melakukan peralihan menuju energi bersih,” kata Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rachmat Hidayat, kepada media, Jumat 10 Juni 2022.

Jaga Pasokan Energi Perode Nataru, PIS Kerahkan 326 Armada Tanker

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi panas bumi Indonesia mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, memanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat. 

“Panas bumi merupakan energi bersih yang sustainable apabila dilakukan manajemen reservoir dengan baik. Geothermal akan memegang peranan yang semakin penting bagi program dekarbonisasi untuk mendukung energi bersih,” kata Rachmat.

Sementara itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri, Herman Darnel Ibrahim, menambahkan Indonesia harus memaksimalkan panas bumi untuk mencapai bauran energi 23 persen pada 2025 dan Net Zero Emission pada 2060. 

Dibandingkan dengan EBT yang lain, panas bumi di Indonesia memang memiliki banyak kelebihan. “Salah satu yang utama adalah pasokannya stabil dan capacity factor-nya tinggi,” ujarnya.

PLTP Kamojang Kabupaten Garut Jawa Barat

Photo :

 

Dengan sifat seperti itu, panas bumi berpotensi menjadi pembangkit beban dasar. Tapi sampai saat ini, hanya pembangkit berbasis fosil yang menjadi pembangkit beban dasar, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara. 

Herman menuturkan berdasarkan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, beban puncak di sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali pada 2021 mencapai 29,5 GW, sementara potensi panas bumi di kawasan ini hanya 8 GW. 

“Pada 2060, prediksi saya produksi listrik panas bumi berkisar 150 TWh, sementara produksi listrik secara nasional akan mencapai 2.600 TWh,” kata Herman.

Selain itu, Herman mengusulkan strategi pengembangan yang berbeda antara Sumatera-Jawa dengan daerah lain yang memiliki potensi panas bumi. “Untuk Sumatera dan Jawa, listrik dari panas bumi bisa masuk ke grid-nya PLN, untuk mengurangi pasokan listrik dari fosil,” katanya. 

Tapi, untuk di luar Sumatera dan Jawa, lanjut Herman, maksimalisasi panas bumi bisa dilakukan dengan mempercepat pengembangan Kawasan Industri Berbasis Energi Terbarukan dan Kawasan Ekonomi Berbasis Energi Terbarukan.

“Agar pasokan listrik energi terbarukan match dengan pemintaan listriknya, dan sekaligus untuk pengembangan ekonomi di luar Jawa dan Sumatera,” katanya.

Adapun Kementerian ESDM berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi dengan skema REBID di sejumlah daerah. Di Halmahera, Pemerintah akan membangun PLTP Hamiding (200 MW), PLTP Jailolo (30 MW), dan PLTP Songa Wayaua (10 MW).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya