Marak Perokok Usia 15-19 Tahun, Bagaimana Nasib Generasi Emas 2045?
- Pixabay
VIVA – Indikator keberhasilan cukai adalah prevalensi perokok yang menurun, namun Indonesia menunjukkan sebaliknya. Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menjelaskan, usia perokok muda meningkat.
“Perokok paling besar di usia 15-19 tahun padahal ini yang diharapkan menjadi generasi emas di 2045. Jika masih merokok, generasi emas ini berubah jadi generasi cemas. Hal ini bisa jadi terjadi karena dosis cukainya belum cukup karena pilihan rokok yang banyak sehingga masyarakat dapat beralih ke rokok yang lebih murah,” katanya dalam Webinar dikutip dalam keterangan tertulis, Selasa 7 Juni 2022.
Untuk melindungi anak dan remaja dari rokok agar tercipta sumber daya manusia (SDM) unggul, lanjut Hasbullah, salah satu intervensi paling efektif adalah intervensi harga melalui kebijakan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai.
“Simplifikasi struktur cukai akan menjadi hal yang cukup efektif untuk membuat harga rokok tidak murah dan tidak membuat pilihan harga rokok yang beragam karena banyaknya golongan pada tiap jenis rokok,” katanya.
Kebijakan cukai hasil tembakau yang tepat dan ideal menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan kesehatan masyarakat yang optimal. Hasbullah mengatakan, pengendalian konsumsi tembakau menjadi penting agar masyarakat dapat hidup sehat dan produktif.
Khususnya dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama dalam mewujudkan Indonesia Sehat melalui pengendalian konsumsi tembakau yang maksimal.
“Dari sisi kesehatan masyarakat, masalah tembakau merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling rumit,” ujarnya.Hasbullah mengungkapkan, kebijakan kenaikan cukai yang dilakukan tiap tahun di Indonesia tidak efektif dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia sehingga tujuan pengendalian konsumsi belum tercapai.
Penyederhanaan Struktur Cukai Seharusnya Turunkan Tren Perokok
Kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia saat tidak menurunkan tren perokok. Hal itu diungkapkan Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri.
“Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia itu paling tinggi di dunia dan kita boleh dikatakan gagal dalam mewujudkan visi SDM Unggul Indonesia Maju. Oleh karena itu, kita menggugat kebijakan cukainya yang masih banyak loopholes-nya,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Faisal mengatakan, penyederhanaan struktur tarif cukai yang dilakukan pemerintah tahun ini dari 10 layer menjadi 8 layer belum efektif.
“Delapan layer itu masih sangat banyak dan cenderung tidak efektif karena masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan rokok untuk menyiasati kenaikan cukai,” katanya.
Faisal juga mempertanyakan batasan golongan produksi sebesar tiga miliar batang. “Batasan produksi sampai 3 miliar juga apa urusannya jika dikaitkan dengan kesehatan?” katanya.
Justru, lanjutnya, batasan produksi 3 miliar batang itu memicu perusahaan asing tidak mau naik kelas dengan membatasi produksinya. “Penggolongan harusnya membantu UKM, bukan menolong perusahaan asing sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi,” katanya.
Harga Rokok Relatif Murah
Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal Febri Pangestu mengakui urgensi dari pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia jika dilihat dari sisi prevalensi perokoknya. Hal ini dipicu oleh harga rokok di Indonesia yang relatif murah dan banyaknya loophole dari kebijakan cukai rokok yang berlaku.
“Kebijakan cukai pemerintah diupayakan mencapai titik optimal dari berbagai tujuan yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara, tenaga kerja dan petani tembakau, serta penindakan rokok ilegal,” ujarnya.
Febri menjelaskan, struktur tarif cukai rokok di Indonesia masih kompleks karena dibedakan berdasarkan jenis dan jumlah produksi.
“Sebenarnya idealnya ketika kebijakan cukai itu ditujukan untuk pengendalian konsumsi, seharusnya tidak diperlukan lagi pembedaan tarif dari golongan. Yang disarankan adalah tarif seragam. Penggolongan juga tidak efektif dan tidak ideal untuk memisahkan pabrikan kecil dan besar. Menurut saya batasan produksi 3 miliar batang untuk menentukan golongan itu masih terlalu besar,” katanya.