YLKI: Perluasan Industri Rokok Jadi Rapor Hitam Era Jokowi
- istimewa
VIVA – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, era pemerintahan Jokowi memiliki rapor hitam dalam hal permasalahan pengendalian dan konsumsi tembakau.
Sebab, pemerintahan Jokowi sampai hari ini sudah beberapa kali membuka perluasan industri rokok di Indonesia, baik industri rokok multinasional dan juga industri rokok elektrik.
"Jadi memang masyarakat Indonesia dikorbankan untuk kepentingan investasi. Sangat ironis dan sangat tragis," kata Tulus dalam telekonferensi, Jumat 3 Juni 2022.
Baca juga:Â Sindiran BUMN Tak Ikut Formula E, Honorer Dihapus hingga Kateter Urin
Tulus menegaskan hal itu turut berperan menyebabkan terjadinya lompatan jumlah perokok dewasa di Indonesia, yang bertambah sangat signifikan selama 10 tahun terakhir. Dari semula sebanyak 60,3 juta orang pada 2011, naik menjadi 69,1 juta orang pada 2021.
"Sehingga ada penambahan jumlah perokok yang luar biasa besar, yaitu 8,8 juta orang perokok dalam 10 tahun terakhir," ujarnya.
Di sisi lain, meskipun prevalensi merokok sedikit mengalami penurunan dari semula 1,8 persen menjadi 1,6 persen, namun menurutnya jumlah ini juga terbilang sangat kecil sekali. Sehingga, dengan lompatan jumlah perokok yang bertambah secara signifikan hingga mencapai 8,8 juta orang tersebut, hal itu telah menjadi lonceng kematian bagi masyarakat Indonesia.
"Karena ini akan berisiko tinggi terhadap berbagai dampak sosial akibat dominannya konsumsi rokok itu," kata Tulus.
Bahkan, lanjut Tulus, data BPS pada Maret 2021 menunjukkan bahwa anggaran untuk membeli rokok itu rata-ratanya mencapai sebesar Rp382 ribu per bulan. Dengan dominannya konsumsi rokok di rumah tangga miskin, data BPS itu juga menunjukkan di mana konsumsi rokok dan tembakau telah menduduki posisi kedua setelah konsumsi makanan dan minuman jadi.
"Kemudian, (setelah untuk membeli rokok) posisi selanjutnya diikuti oleh konsumsi padi-padian, sayur-sayuran, ikan/udang/cumi/kerang, telur dan susu, daging, buah-buahan, dan sebagainya. Artinya, rumah tangga miskin di Indonesia ini jauh lebih mementingkan konsumsi rokok dibandingkan membeli bahan-bahan makanan yang bergizi," ujarnya.