Wall Street hingga Nasdaq Ambrol Dipicu Kekhawatiran Investor

Pialang di Bursa Wall Street.
Sumber :

VIVA – Bursa saham Amerika Serikat, Wall Street turun tajam pada akhir penutupan perdagangan Senin atau Selasa pagi WIB, dengan indeks S&P 500 berakhir di bawah 4.000 untuk pertama kalinya sejak akhir Maret 2021. Sedangkan Nasdaq turun lebih dari 4 persen dalam aksi jual yang dipimpin oleh saham-saham mega-cap karena investor semakin khawatir tentang kenaikan suku bunga.

Meneropong Masa Depan Pasar Komoditas Indonesia di Situasi Global Tak Menentu, Investor Harus Apa?

Indeks Dow Jones Industrial Average terperosok 653,67 poin atau 1,99 persen, menjadi menetap di 32.245,70 poin. 

Indeks S&P 500 kehilangan 132,10 poin atau 3,20 persen, menjadi berakhir di 3.991,24 poin, menandai pertama kalinya indeks jatuh di bawah ambang batas 4.000 dalam lebih dari setahun. Indeks Komposit Nasdaq ditutup anjlok 521,41 poin atau 4,29 persen, menjadi 11.623,25 poin.

IHSG Menguat pada Sesi I, Sederet Saham Berhasil Kinclong

Pimpinan Baidu saat go public di bursa saham Nasdaq New York

Photo :
  • VIVAnews/Renne Kawilarang

Sepuluh dari 11 sektor utama S&P 500 berakhir di zona merah, dengan sektor energi dan real estate masing-masing terpuruk 8,3 persen dan 4,62 persen, memimpin penurunan. Sementara itu, sektor pokok konsumen naik tipis 0,05 persen, merupakan satu-satunya kelompok yang naik.

BCA Segera Bagikan Dividen Interim kepada Investor, Siapkan Dana Lebih dari Rp 6 Triliun 

Nasdaq ditutup pada level terendah sejak November 2020. Saham Apple anjlok 3,3 persen dan merupakan bobot terbesar di Nasdaq dan S&P 500. Microsoft Corp tergelincir 3,7 persen dan Tesla Inc terpental 9,1 persen.

Investor khawatir tentang seberapa agresif Federal Reserve atau The Fed perlu menjinakkan inflasi. Bank sentral AS pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun AS yang menjadi acuan mencapai level tertinggi sejak November 2018 sebelum turun pada Senin.

"Pasar sedang mencerna awal kembalinya lingkungan kebijakan moneter yang lebih normal," kata Kristina Hooper, kepala strategi pasar global di Invesco di New York seperti dilansir Antara.

"Bergerak lebih agresif (pada suku bunga) meningkatkan momok resesi, terutama dengan semua komplikasi ini - inflasi tinggi, invasi Rusia ke Ukraina, gangguan rantai pasokan terkait COVID," katanya.

Investor juga khawatir tentang perlambatan ekonomi di China menyusul meningkatnya kasus virus corona baru-baru ini.

Para analis memperingatkan bahwa investor perlu bersiap untuk volatilitas lanjutan.

"Sentimen bearish tetapi tidak pada tingkat kapitulasi, likuiditas pasar buruk yang mengarah pada volatilitas yang lebih besar, dan investor menarik uang dari dana ekuitas dan obligasi daripada memasukkannya," kata Solita Marcelli, kepala investasi untuk Amerika di UBS Global Wealth Management dalam sebuah catatan.

"Faktor teknis ini dapat mendominasi berita ekonomi selama beberapa minggu atau beberapa bulan, dan mungkin akan memakan waktu lama untuk perbaikan inflasi menjadi jelas," tambah Marcelli.

Saham Teknologi Terpukul karena Aksi Jual

Di antara yang paling terpukul dalam aksi jual baru-baru ini adalah saham-saham teknologi dan pertumbuhan, yang penilaiannya lebih bergantung pada arus kas masa depan.

Saham Twitter Inc turun lebih dari 3,0 persen karena Hindenburg Research mengambil posisi short pada saham perusahaan media sosial tersebut, dengan mengatakan bahwa kesepakatan perusahaan senilai 44 miliar dolar AS untuk menjualnya ke Elon Musk memiliki risiko signifikan untuk mendapatkan harga yang lebih rendah.

Volume transaksi di bursa AS mencapai 15,29 miliar saham, dibandingkan dengan rata-rata 12,34 miliar untuk sesi penuh selama 20 hari perdagangan terakhir. (Ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya