Tak Tepat Sasaran, Subsidi Langsung Solusi Masalah Penyaluran BBM
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Kebijakan subsidi langsung dalam penyaluran BBM pasca 1 Syawal 1443 Hijriyah dinilai menjadi momentum pemerintah menyelesaikan sengkarut penyaluran BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun. Terlebih saat melihat melonjaknya konsumsi BBM ketika masyarakat melakukan mudik Lebaran 2022.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan sudah terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti sekarang. Buktinya, pemerintah malah menambah kuota solar yang disubsidi dari 15 juta kiloliter (KL) menjadi 17 juta KL. Sedangkan pertalite yang menjadi BBM penugasan ditingkatkan kuotanya lima juta KL dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
“Kebijakan pemerintah saat ini yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami, tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri,” ujar Marwan, dalam keterangannya kepada media, dikutip Minggu 1 Mei 2022.
Baca juga: Nekat Bunuh dan Cabut Jantung HM, Ini Motif Tersangka RK
Untuk itu, lanjut Marwan, pemerintah sebaiknya tidak perlu membandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara yang bisa produksi minyak dalam jumlah besar. Pemerintah hanya tinggal menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas setelah mempertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti harga bahan mentah, harga crude yang diimpor, ditambah biaya pengilangan, biaya penyimpanan.
“Belum lagi ada biaya distribusi, margin , dan pajak. Itu menjadi harga keekonomian. Jadi merujuk kemana-mana," katanya.
Ia pun menilai harga keekonomian bisa dilihat dengan harga-harga BBM yang dipasarkan oleh badan usaha lain selain Pertamina. Harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah pesaing, termasuk BBM jenis solar yang disubsidi. Harga solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter sedangkan harga solar subsidi (Dexlite) Rp12.950 per liter, dan harga Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Menurut Marwan, masyarakat Indonesia diakui memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun bukan dengan mekanisme seperti sekarang yang justru merugikan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan nilainya terus membengkak.
"Negara harus mensubsidi orang yang memang layak mendapat sehingga nanti anggaran APBN untuk mensubsidi orang itu akan lebih rendah ketimbang mensubsidi barang yang di subsidi. Kalau barangnya yang disubsidi bisa 2-3 kali lipat," jelas Marwan.
Selain itu, menurut Marwan badan usaha juga memiliki hak untuk bertahan dan beroperasi meskipun dibebani penugasan untuk menyalurkan BBM penugasan maupun subsidi. Sehingga cara terbaik memang membiarkan badan usaha menjalankan operasi tanpa harus terus menanggung beban keuangan.