Potret Perlindungan HAKI dan Upaya Joger Lawan Penjiplak

Joger.
Sumber :
  • Website Joger

VIVA – Indonesia masih memiliki tantangan terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI). Berbagai persoalan HAKI masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia sebab masih banyak pelanggaran, mulai dari hak cipta, merek, paten, dan sebagainya. 

Sektor bisnis yang menopang perekonomian masih tak luput dari permasalahan HAKI. Salah satunya adalah penjiplakan karya, seperti yang kerap dihadapi pebisnis pariwisata Bali, Pabrik Kata-Kata Joger.

Jr Chief Executive Officer Joger, Armand Setiawan Wulianadi mengatakan, produk-produk Joger selama ini memang kerap mengalami jiplakan. Khususnya kaus kata-kata unik Joger yang dikenal sebagai salah satu oleh-oleh khas Bali.

"Memang tantangan yang selalu kami hadapi adalah praktik yang dilakukan penjiplak produk kami. Bahkan sudah bukan rahasia, produk jiplakan Joger dijual di pusat oleh-oleh besar di Bali, yang bisa dikatakan adalah tetangga kami sendiri," kata Armand, dikutip dalam keterangannya, Sabtu 30 April 2022.

Padahal HAKI, lanjut dia, sangat erat hubungannya dengan pembangunan ekonomi negara. Berbagai upaya telah dilakukan manajemen Joger terhadap praktik-praktik penjiplakan. Mulai dari persuasi mengimbau pihak dan pedagang jiplakan kaus Joger, hingga melakukan sosialisasi ke masyarakat bahwa produk Joger hanya dijual di toko milik mereka, yakni di Pabrik Kata-Kata Joger di kawasan Kuta, Badung, dan di Teman Joger Luwus yang berada di kawasan Bedugul, Tabanan.

"Tapi permasalahannya bukan hanya di pedagang-pedagang kecil ini yang hanya berusaha untuk menjual produk yang laris. Tapi justru mereka yang memproduksi barang jiplakan Joger ini kan pengusaha-pengusaha besar," sebut Armand.

Keresahan Sudah Diketahui Pemangku Kebijakan

Joger.

Photo :
  • Website Joger

Menurutnya, Joger sebenarnya sudah kerap menyuarakan keresahan soal HAKI kepada pihak Ditjen Kekayaan Intelektual, Pemda maupun pihak berwenang lainnya. Namun, kata Armand, hingga kini belum ada tindakan nyata untuk memberantas penjiplakan karya cipta milik Joger.

"Dan belum ada kesadaran dari kebanyakan para pelaku usaha pariwisata di Bali untuk menghargai HAKI. Sementara perekonomian Bali ditopang dari sektor-sektor pariwisata, termasuk sektor perbelanjaan oleh-oleh," tutur Armand.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebut kekayaan intelektual adalah nadi bagi setiap pelaku industri kreatif. Oleh karenanya, para pelaku industri selalu diimbau untuk melakukan perlindungan terhadap kekayaan intelektual.

Meski begitu, kemajuan ekonomi kreatif Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang pelanggaran HAKI. Banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAKI, termasuk penjiplakan karya, masih menjadi momok di Indonesia.

Bahkan di tahun 2021, Indonesia kembali masuk  Priority Watch List atau daftar negara yang dinilai Amerika Serikat memiliki pelanggaran hak kekayaan intelektual atau HAKI cukup berat. Penegakan hukum atas pelanggaran HAKI di Indonesia dinilai AS masih lemah dan tidak tegas.

Berdasarkan keterangan Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Indonesia sudah masuk di dalam daftar Priority Watch List (PWL) United States Trade Representative (USTR) selama 33 tahun.

Pariwisata Jangan Sampai Ternoda Praktik Jiplak

Tentunya, lanjut dia, hal ini dapat menghambat kemajuan dari bangsa Indonesia, termasuk dalam dunia pariwisata dan ekonomi kreatif. Padahal, Indonesia saat ini sedang menggencarkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang pastinya berpengaruh terhadap dunia pariwisata, khususnya di Bali sebagai salah satu surga wisata dunia.

"Maka kami harapkan komitmen dari pemerintah terhadap praktik pelanggaran HAKI. Ini menyangkut pariwisata kita, mau dibawa ke mana? Apa Indonesia mau terkenal dengan pariwisata jiplakan?" sebut Armand.

Dispar Bali Lakukan Sidak di Desa Wisata Kertha Gosa

Armand berharap, peringatan Hari HAKI Sedunia pada 26 April lalu ini bisa kembali mengingatkan permasalahan pelanggaran HAKI yang tak ada habisnya di Indonesia. Sebab pada akhirnya, konsumen-lah yang akan dirugikan jika masalah ini terus berlanjut.

"Kan lucunya, kita ikut bayar pajak tapi tidak mendapat perlindungan. Apakah mereka yang menjiplak ini bayar pajak? Kenapa sulit sekali ditindak," ungkap putra Mr Joger itu.

Masyarakat Bali Mulai Lirik Motor Listrik Honda EM1

Soal HAKI, Kemenparekraf juga menyatakan karya-karya kekayaan intelektual lahir dari dari kemampuan intelektual manusia melalui curahan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa. Karya-karya ini wajib dilindungi karena memiliki nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia.

Payung Hukum dan Sertifikat Merek

Bukan BeAT atau Vario, Ini Motor Honda Paling Laris di Bali

Indonesia sudah memiliki beberapa payung hukum perlindungan terhadap HAKI, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek.

Pabrik Kata-Kata Joger sudah memiliki sertifikat merek sejak tahun 1997 yang seharusnya mendapat perlindungan dari payung-payung hukum tersebut. Selain itu, Joger juga telah mendaftarkan beberapa desain, karya, dan produknya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Merek Joger pun sudah terdaftar di Singapura, China, dan Australia.

Sebagai merek dengan produk dengan daya kreativitas tinggi, Joger tentunya menjunjung tinggi urusan HAKI. Kaus kata-kata Joger yang murni atas daya kreatif sang pendiri Joger, Joseph Theodorus Wulianadi atau Mr Joger, sangat terkenal di dunia pariwisata nasional dan mancanegara.

Menurut Mr Joger, pihaknya pada tahun 1999 pernah memperkarakan masalah penjiplakan kaus Joger. Berawal dari berbagai persuasi yang dilakukan kepada para pedagang oleh-oleh di Bali, namun tak didengarkan.

"Kita bagi-bagi bunga mengimbau supaya jangan menjual barang jiplakan Joger," kisah Mr Joger.

Setelah beberapa kali melakukan persuasi, manajemen Joger akhirnya memperkarakan beberapa pedagang yang masih menjual kaus tiruan Joger.

"Karena sudah keterlaluan. Beberapa kali sudah diingatkan dengan baik, tapi karena sudah kelewatan ya sudah kita masukkan ke meja hijau," ucap pria yang mulai merintis usaha pabrik kata-kata sejak tahun 1981 tersebut.

Beberapa kasus berakhir damai, namun sebagian diteruskan hingga inkrah di pengadilan. Berdasarkan penelusuran, mereka yang memproduksi produk jiplakan Joger kebanyakan adalah orang-orang dengan status ekonomi dan sosial tinggi di Bali.

Bagi Mr Joger, perlindungan karya merupakan hal penting. Sebab ia memulai usahanya dari nol sejak tahun 1980-an. Dimulai ketika ia menjadi guide untuk turis asing di Bali, khususnya warga negara Jerman.

"Selama menjadi guide saya melihat celah-celah atau hal-hal yang kurang bagus di dunia art shop dalam pariwisata di Bali. Hanya menghormati turis-turis asing yang bawa dollar atau devisa. Seharusnya kan kita lebih menghormati turis lokal," cerita Mr Joger.

Berangkat dari situ, Mr Joger lalu membuka Art and Batik Shop di Denpasar. Nama Joger adalah singkatan dari Joseph dan Gerhard. Gerhard sendiri adalah sahabat 'bule' Mr Joger yang sudah dianggap seperti saudara sejak ia sekolah perhotelan di Jerman.

Awal Bisnis Joger

Mengawali bisnisnya, Mr Joger dengan bermodalkan uang Rp 500 ribu berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar soal batik. Ia berhasil mendapat pengalaman di Pasar Klewer yang menjadi pusat batik di Solo. Mulai dari usaha kecil-kecilan, nama Mr Joger menjadi harum di Pasar Klewer dan mendapat kemudahan untuk mendapatkan barang dagangan.

Akhirnya setelah berkembang, Mr Joger membangun tempat sendiri di Kuta dan mengganti nama usahanya menjadi Pabrik Kata-Kata Joger pada tahun 1987. Ada banyak produk yang dijual, secara khusus yakni kaus kata-kata hasil kreativitas Mr Joger.

"Saya kumpulkan yang terbaik-terbaik, kemudian saya sajikan dengan harga supportif. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak terlalu murah. Satu harga untuk memperlakukan semua orang secara sama," terang salah satu tokoh Bali yang dikenal nyeleneh ini.

Joger diketahui sudah memiliki konsumen tersendiri. Bahkan tak sedikit yang menantikan karya-karya unik Mr Joger.

"Tahun 1983 saya pernah iseng, pengen tes ini orang emang seneng sama saya apa gimana. Saya buat kaus saya tanda tangani pakai kuas dengan 3 warna, laku juga ternyata," kata Mr Joger.

Mr Joger pun berharap para pelaku usaha memiliki kesadaran untuk memajukan pariwisata Bali, dengan tidak menjual karya jiplakan. Sekalipun mereka berargumen tidak betul-betul menjual produk yang sama persis dengan Joger.

"Mereka bilang itu kan ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Itu ditanggapi secara tidak beretika. Mereka ngawur, saya punya gambar A lalu desain B digabung oleh mereka jadi sebuah desain baru itu katanya kreatif, ATM. Saya ndak mau," tegasnya.

"Harapan saya mulailah sadar bahwa bikin desain itu nggak sulit. Kok malah mempersulit citra diri sendiri. Tapi kalau profit oriented kan mereka nggak peduli, yang penting untung. Ini yang di belakangnya tidak mungkin UMKM," imbuh Mr Joger.

Di sisi lain, Mr Joger juga meminta agar pemerintah semakin menegakkan perlindungan HAKI. Ia mengaku saat ini dalam menghadapi persoalan penjiplakan karya Joger, tidak lagi dilakukan lewat ranah hukum karena terlanjur pesimistis.

"Jadi memang susah sistem kita. Makanya belakangan saya tidak mau lagi masuk ke ranah hukum. Jadi di moral saja, ada orang pakai mirip-mirip kayak punya kita, kita mohon untuk ganti pakaian, atau kita pinjemin jaket," ujarnya.

Mr Joger mengingatkan, Indonesia sudah memiliki citra negatif dari sisi perlindungan HAKI. Untuk itu ia mengajak semua pihak, termasuk konsumen itu sendiri, untuk lebih menghargai kekayaan intelektual agar dunia ekonomi kreatif Indonesia tidak tergerus akibat pelanggaran hak cipta.

"Niatnya pemerintah itu ke mana? Kalau mau menegakkan HAKI ya mbok dipastikan. Tapi sampai sekarang kalau sudah masuk ranah hukum, ya ngawur. Dan saya nggak mau main sogok," tutur Mr Joger.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya