Tanpa HET, Harga Minyak Goreng di Pasar Tidak Akan Turun
- VIVA/Anisa Aulia
VIVA – Karut marut tata kelola minyak goreng kian terungkap. Kejaksaan Agung telah menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardana dan tiga petinggi perusahaan swasta sebagai tersangka kasus gratifikasi atau suap pemberian izin penerbitan ekspor minyak goreng.
Harga minyak goreng kemasan pun masih tinggi di pasaran karena menyesuaikan dengan harga keekonomian. Tak ada lagi harga eceran tertinggi (HET) yang selama ini jadi pengaman. Sedangkan minyak goreng curah juga masih tinggi meskipun disebut sudah disubsidi.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah perlu untuk kembali memberlakukan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Karena, setelah penetapan tersangka itu pun harga minyak goreng masih belum turun di pasaran.
“Tanpa adanya HET dan diserahkan ke mekanisme pasar, harga minyak goreng tidak akan turun dalam waktu dekat,” ujar Bhima saat dihubungi VIVA, Kamis 21 Maret 2022.
Menurutnya, pengusutan dan proses hukum wajib dilakukan secara tuntas kepada pihak yang terlibat dalam mafia perizinan ekspor minyak sawit.
Karena dengan hukum dan efek jera bagi pemain lain yang ingin mencoba menahan stok atau mengambil marjin terlalu tinggi, akan membuat pengusaha kapok untuk bermain. Khususnya saat ini di minyak goreng curah yang disubsidi.
Bhima mengatakan, dalam penetapan HET beberapa waktu lalu, masalah bukan ada pada hal itu. Tetapi saat HET berlaku pemerintah tidak tegas kepada para pengusaha minyak goreng.
“Saat HET berlaku pemerintah tidak tegas pada konglomerat sawit, sehingga stok hilang dari pasaran. Kombinasi penegakan hukum dan HET minyak goreng kemasan diharapkan bisa menstabilkan harga,” tegasnya.
Pengusaha yang Tak Patuh HET Bisa Disanksi
Bhima menyarankan, bila ada pengusaha yang mangkir dari kewajiban HET terdapat empat cara yang dapat dilakukan.
Pertama, penghentian sementara ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya kepada perusahaan yang tidak memenuhi aturan. Kedua, evaluasi dan penghentian perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit.
“Apabila ada lahan yang belum beroperasi atau masuk kategori lahan tidur, dapat dialihkan HGU nya oleh negara,” jelasnya.
Ketiga, penyusutan pajak perusahaan kelapa sawit termasuk segala bentuk upaya penghindaran pajak lintas negara. Keempat, mewajibkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari CPO yang terlibat permufakatan jahat untuk dimasukkan ke dalam perbankan dalam negeri dan wajib konversi ke rupiah.
“Pengusaha yang menikmati marjin di atas penderitaan masyarakat harus dibuat tidak nyaman,” tegasnya.