Wajib Tahu, 5 Fakta Sejarah Awal Mulanya THR

THR
Sumber :
  • katadata.

VIVA –  Fakta sejarah awal mula adanya THR tentu sangat menarik untuk di bahas, terlebih THR Merupakan salah satu yang ditunggu tunggu banyak pekerja di saat mendekati lebaran Idul Fitri. Menurut Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/1/HK.04/IV/2022, THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan perusahaan kepada pekerja/buruh menjelang hari raya keagamaan di Indonesia.

Deretan Fakta Menarik Jelang Pertandingan Timnas Indonesia vs Filipina, Skuad Garuda Punya Peluang Menang

Karyawan dapat menerima jumlah THR yang berbeda-beda, terhitung masa kerja dan gaji bulanannya. Namun, sebenarnya sejak kapan THR populer di Indonesia? Dikutip dari berbagai sumber, VIVA telah merangkum 5 fakta sejarah awal mula THR

1. Sudah diperkenalkan sejak tahun 1951

Deretan Fakta-fakta Kasus Pabrik Uang Palsu di UIN Makassar, Sudah Tetapkan 17 Orang Tersangka

Pemberian uang atau barang jelang hari raya keagamaan atau yang dikenal dengan tunjangan hari raya (THR) sudah diperkenalkan sejak era kemerdekaan tahun 1951. Pelopor yang memperkenalkan konsep THR yakni Perdana Menteri Indonesia ke-6, Soekiman Wirjosandjojo.

Kala itu, Soekiman menjabat mulai 26 April 1951 – 1 April 1952 dengan wakil PM Suwiryo dan Presiden RI saat itu dijabat oleh Soekarno. Saat itu, kebijakan THR merupakan bagian dari program kesejahteraan pamong praja yang sekarang dikenal dengan aparatur sipil negara (ASN). Tujuannya, agar pamong dapat mendukung program pemerintah.

Deretan Fakta Terbaru Kasus Dokter Kecantikan Abal-Abal Ria Beauty, Polisi yang Menanganinya Dimutasi

2. Berawal dari Persekot dan paket Sembako

THR PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka yang nantinya harus dikembalikan melalui pemotongan gaji. Jumlah THR yang diberikan yakni Rp125 hingga Rp200, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Aturan mengenai pemberian THR PNS pada saat itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.

Selain uang THR, PNS juga diberikan paket sembako. Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta. Namun, kebijakan pemberian THR mendapat kritik dari buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

3. Protes oleh kalangan buruh

Pembagian THR kepada Pamong kala itu menuai protes dari buruh yang menilai, THR yang diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil. Padahal, para buruh juga sama-sama pekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.

Kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri ke-8 Indonesia, merespon dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang pemberian persekot Hari Raya tidak hanya diberikan kepada Pamong atau Pegawai Negeri namun juga mengakomodir buruh.

Untuk menindak lanjuti protes tersebut, Menteri Perburuhan Abidin lantas menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1958. Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji bulanan yang diterima dalam rentang waktu satu tahun, sekurang-kurangnya adalah Rp50 dan paling besar Rp300.

 Namun surat tersebut hanya bersifat himbauan, hingga pada akhirnya banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena pihak perusahaan menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela dan tidak wajib.

4. Perubahan aturan di era Orde Baru

Memasuki era orde baru, aturan mengenai THR mulai disempurnakan, kini, tidak hanya PNS yang mendapatkan tunjangan hari raya, pekerja swasta juga ikut kebagian, termasuk besaran dan skema THR. Pada tahun 1994 di Pemerintahan Soeharto-Try Sutrisno melalui Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Permenaker Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.

Lewat peraturan ini, pemerintah mewajibkan semua perusahaan memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi pondasi kebijakan THR hingga saat ini.

5. Revisi peraturan di tahun 2016

Di tahun 2016, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR. Perubahan ini tertulis dalam peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 tahun 2016. Disebutkan, pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.

Kewajiban perusahaan membayarkan THR tidak hanya diberlakukan kepada karyawan tetap tetapi juga kepada karyawan kontrak, termasuk pekerja (PKWTT) dan (PKWT). Besaran  THR yang diterima pekerja akan ditentukan berdasarkan masa kerja yang telah mereka lalui di perusahaan.

Bagi karyawan yang telah menempuh masa kerja minimal 12 bulan atau lebih secara berturut-turut, maka akan memperoleh THR sebesar upah atau gaji yang mereka terima selama 1 bulan. Dan bagi karyawan yang memiliki masa kerja dibawah 12 bulan akan menerima THR yang besarnya bersifat proporsional.

Jika terlambat membayarkan kewajiban tersebut  kepada para karyawannya, perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi yang diatur dalam Permenaker Nomor 20 Tahun 2016 tentang tata cara pemberian sanksi administratif dan juga diatur pada PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.

Menurut Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Dari semua paparan di atas, dapat kita lihat betapa panjang sejarah perjalanan THR dari yang awalnya berupa pinjaman hingga kini menjadi sesuatu yang kita nantikan di Hari Raya Idul Fitri, semoga dapat menambah pengetahuan kamu sebagai pembaca.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya