Sri Mulyani Ungkap Alasan Pajak Karbon Batal Diterapkan 1 April

Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sumber :
  • VIVA/Anisa Aulia

VIVA – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pengenaan pajak karbon batal dilaksanakan per 1 April 2022. Ia mengatakan, saat ini pemerintah masih melakukan koordinasi untuk sinkronisasi roadmap pajak karbon.

Proyek Infrastruktur Disetop Sementara, Menteri PU: Anggarannya Ditahan Bu Menkeu

Kebijakan pajak karbon itu terdapat dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal itu disampaikan Sri Mulyani pada acara PPATK 3rd Legal Forum, Mewujudkan Green Economy Berintegritas Melalui Upaya Disrupsi Pencucian Uang pada Pajak Karbon.

“Pajak karbon seharusnya dilakukan pada 1 April, namun kita masih harus melakukan koordinasi untuk mensinkronkan roadmap. Dan sekaligus juga menjaga agar pelaksanaan bisa berjalan baik dan tentunya tidak mendisrupsi pemulihan ekonomi kita,” jelas Sri Mulyani, Kamis 31 Maret 2022.

PPN Naik Jadi 12 Persen, Ketua Aprindo Minta Sri Mulyani Tinjau Ulang

ilustrasi polusi dari pabrik

Photo :
  • vstory

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga menjelaskan, dalam UU HPP pajak karbon dilakukan karena Indonesia telah bertekad untuk mengatasi perubahan iklim sesuai dengan target Indonesia mengurangi emisi karbon di 2060.

Rencana Sri Mulyani Kejar Potensi Pajak Underground Economy

“Untuk mengatasi perubahan iklim tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri. Atau menggunakan even BUMN. Harus ada partisipasi dari swasta baik nasional maupun global,” terangnya.

Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan, akan muncul kerumitan, di mana kerumitan berasal dari mekanisme perdagangan karbon antar negara yang mengharuskan adanya kesepakatan global.

“Kalau ada nama barang yang sama yaitu karbon di jual belikan di dalam negeri dan di luar negeri. Di satu negara harganya hanya US$3 di negara lain harganya US$25, di negara lain lagi ada yang harganya US$45. Bahkan menurut perhitungan kalau dunia akan berhasil mengatasi perubahan iklim, harga karbon itu harusnya bisa mencapai US$125,” ujarnya.

Adapun jika harga yang berbeda dan belum mencapai kesepakatan global, berpotensi akan menimbulkan terjadinya kebocoran atau tindak pidana korupsi pajak karbon.

“Jadi yang namanya rezim atau desain kebijakan yang disebut market for carbon itu sendiri sudah cukup rumit. Oleh karena itu Indonesia akan melakukannya dengan sangat hati-hati dan bertahap. Apalagi sekarang kita masih dalam  suasana pandemi dan sedang berupaya memulihkan ekonomi Indonesia,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya