Ekonomi RI Bisa Lebih Baik dari Sebelum Pandemi, Ini Caranya
- VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA – Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Alin Halimatussadiah mengatakan, untuk memperbaiki lingkungan sekaligus juga ekonomi nasional, sangat penting bagi Indonesia untuk menerapkan pemulihan berkelanjutan alias sustainable recovery.
Di mana menurutnya, hal ini dapat pula memanfaatkan momentum Pandemi COVID-19. Yang, menyebabkan berbagai taget SDGs yang sudah ditetapkan sebelumnya berisiko untuk sulit tercapai.
“Kita bisa memanfaatkan situasi krisis pandemi ini untuk mem-forward menuju masa depan yang bukan lagi kembali ke situasi sebelumnya. Tapi lebih baik dengan sustainable recovery,” ujar Alin dalam webinar Stockholm+50: a healthy planet for the prosperity of all - What are Indonesia’s lessons learned?, Jakarta, Kamis, 17 Maret 2022.
Namun demikian, untuk menerapkan pemulihan berkelanjutan, perlu bagi Indonesia untuk melihat jauh ke depan. Seperti dampak apa saja yang mungkin diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang ada saat ini. Terlepas apakah kebijakan tersebut sudah mengarah pada ekonomi hijau atau masih berupa kebijakan konvensional.
Sementara itu, menurut Alin, selama ini, khususnya saat pagebluk, kebijakan ekonomi yang diambil oleh Indonesia dinilai memberikan kontribusi negatif lebih banyak terhadap lingkungan, ketimbang yang memberikan dampak positif.
Karena itu, untuk benar-benar menerapkan green economy, Indonesia sangat perlu memerhatikan permasalahan global yang terjadi saat ini, yakni perubahan iklim.
“Dan yang harus kita lakukan saat ini adalah dekarbonisasi, yang aksinya berupa mitigasi dan adaptasi,” tegasnya.
Selain itu, harus pula mempertimbangkan permasalahan yang terjadi di dalam negeri, yaitu berupa eksploitasi sumber daya alam dan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan menerapkan ekonomi melingkar (circular economy) dan membuat safe guard yang kuat, khususnya untuk perbaikan permasalahan lingkungan.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Arief Anshory Yusuf menilai, di samping green economy, pemerintah juga harus mendorong pertumbuhan inklusif dari sisi sosial. Artinya, saat ini mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan mampu bertahan lama, suatu negara harus terlebih dulu melakukan pemerataan sosial.
“Untuk kasus Indonesia, khususnya di daerah yang pendapatannya ditopang oleh sumber daya alam dia tinggi tapi fragile. Kadang tinggi, kadang rendah. Frigile itu agak berbahaya, tidak sustain,” jelas dia.
Namun, terlepas dari itu untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan ekonomi yang kuat, tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja. Melainkan juga membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari dunia usaha, akademisi, hingga masyarakat sebagai akar rumput.
Sebab, dengan ilmu yang dikembangkan oleh para akademisi, akan lebih mudah untuk memahami sebab dan akibat yang terjadi dalam persoalan lingkungan. Sehingga, praktis dapat mendukung perumusan kebijakan inklusif yang dapat mengatasi permasalahan sekarang ini.
“Dibutuhkan pendekatan masyarakat, atau lebih tepatnya, pendekatan dunia untuk menangani dan akademisi menempati tempat penting dalam formula ini. Dengan cara itu tidak meninggalkan siapa pun,” kata Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Norimasa Shimomura.
Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri Ibnu Wahyutomo mengaku sependapat. Kolabirasi dan keterlibatan berbagai pihak, baik Pemerintah lembaga think thank, dunia usaha, kalangan profesional dan akademisi berperan penting dalam mewujudkan lingkungan yang lebih sehat untuk masa depan masyarakat dunia, tidak cuma Indonesia.
“Kita harus keluar dari business as usual dan akademisi harus menjadi bagian advokasi, menuju perwujudan planet yang lebih hijau,” imbuhnya.