Orang Mampu Banyak Pakai Pertamax, Subsidi Harga BBM Tak Tepat Sasaran

Ilustrasi Nozzle BBM.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Meroketnya harga minyak dunia belum sepenuhnya diikuti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Dari empat jenis BBM nonsubsidi Pertamina, baru tiga BBM yang harganya disesuaikan yaitu Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite, padahal tiga BBM ini volume penjualannya hanya 3 persen saja. 

Sementara untuk jenis Pertamax yang volumenya sekitar 14 persen, harganya masih tetap bertahan sejak lebih dari dua tahun lalu, yaitu sebesar Rp9.000 per liter. 

Artinya, karena bukan BBM bersubsidi, gap harga Pertamax menjadi beban Pertamina yang semakin lama menjadi semakin berat. Saat ini produk BBM sejenis Pertamax dengan kadar oktan (RON) 92 dari perusahaan lain dijual sekitar Rp11.900-Rp12.990 per liter. 

Baca juga: Pengamat: Wajar BBM Nonsubsidi Ikuti Harga Pasar, Pengguna Kelas Atas

Pakar Hukum Pertambangan dan Energi dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, mengatakan agar subsidi tepat sasaran, sebaiknya harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite sesuai mekanisme pasar. 

Hal ini, kata dia, selaras dengan spirit dari Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Migas yang telah dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. 

“Bahwa terkait harga BBM bersubsidilah yang harganya diatur pemerintah, sedangkan BBM nonsubsidi dapat diserahkan ke mekanisme pasar,” ujar Ahmad Redi, kepada media dikutip Kamis 17 Maret 2022. 

Oleh karena itu, lanjut Redi, sudah sewajarnya harga Pertamax disesuaikan dengan harga pasar karena diperuntukan bagi masyarakat mampu. Harga BBM nonsubsidi harus mengikuti pasar atau sesuai harga pasar dan tidak boleh membebani APBN

Kenapa SPBU Asing Kesulitan Bertahan di Indonesia? Ini Penyebabnya!

Harga BBM nonsubsidi juga tidak boleh membebani rakyat karena APBN berasal dari rakyat, kecuali beban subsidi dalam APBN terus bertambah. “Hal ini sudah sesuai dengan konsepsi hak menguasai negara atas migas dan prinsip efisiensi berkeadilan dalam Pasal 33 UUD 1945,” ujarnya. 

Sebagai perseroan, lanjut Redi, Pertamina harus mendapatkan keuntungan, selain pula untuk menjalankan PSO (public service obligation). Aspek PSO sudah dilakukan pada BBM subsidi, bahkan termasuk Pertalite yang sejatinya tidak masuk kategori BBM Penugasan. 

Diikuti 12.300 Pelari, Pertamina Eco RunFest 2024 Sukses Digelar di Istora Senayan

“Jadi untuk Pertamax pun sebaiknya disesuikan dengan mekanisme pasar agar kompetitif dan protifitble bagi Pertamina,” tegasnya.

Perlu diketahui, saat ini 83 persen dari volume BBM yang dijual Pertamina adalah BBM subsidi negara. Pemerintah berketetapan tidak menaikkan harga BBM subsidi, termasuk Pertalite yang masuk kategori BBM nonsubsidi, kendati harga minyak naik. 

Yayasan Kesehatan Bangun Ekosistem Layanan Berkelanjutan Lewat Digitalisasi

Sebagaimana barang subsidi pada umumnya, BBM subsidi diperuntukan bagi masyarakat yang kurang mampu, transportasi umum, dan usaha kecil. Sedangkan BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex dan Dexlite hanya 17 persen dari volume penjualan total BBM. Sesuai aturan pemerintah, harganya disesuaikan dengan harga pasar karena BBM tersebut diperuntukan bagi masyarakat mampu serta sektor industri besar.

Redi menambahkan cukup fair bila Pertamina fokus menjalankan BBM Penugasan yang disubsidi pemerintah dengan harga mengikuti ketentuan pemerintah sesuai amanat UU Migas dalam Putusan MK. Sedangkan BBM non penugasan, mengikuti harga pasar. 

“Bahwa kemudian harga (jual) pasarnya itu masih di bawah harga pesaing tak jadi soal,” katanya. 

Pertamax kemasan

Photo :
  • Eri Naldi/ VIVAnews

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) Ali Ahmudi Achyak, mengatakan naiknya harga minyak di pasar global akibat konflik memicu krisis pasokan energi dunia. Dan Indonesia sebagai net importir minyak, ekonominya pasti terdampak cukup signifikan.  

Menurut dia, harga minyak yang terus meningkat memiliki dampak terhadap APBN karena masih besarnya eksposur, baik dari sisi pendapatan Pajak Penghasilan (PPh) dan Penerima Negara Bukan Pajak (PNBP), serta Belanja Negara (untuk subsidi ataupun kompensasi).

Menurut Ali, BUMN energi, khususnya Pertamina harus segera melakukan langkah antisipasi menghadapi kondisi emergensi agar tidak mengalami “goncangan” terlalu berat akibat kenaikan bahan baku (crude oil) yang sebagian masih impor dan pembengkakan biaya produksi akibat dampak ikutan kenaikan harga, seperti inflasi, depresiasi rupiah, dan lain-lain.

“Fungsi ganda BUMN sebagai ‘entitas bisnis’ yang profit oriented dan PSO untuk menjaga kepentingan masyarakat luas harus dijalankan secara seimbang dan proporsional,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya