Harga Tak Naik Konsumsi Pertalite Meroket, Ini Kata Guru Besar UGM
- ANTARA/Muhammad Adimaja
VIVA – Konsumsi BBM dengan kualitas oktan yang tidak tinggi diperkirakan mengalami kenaikan pasca Pertamina menaikan tiga produk BBM beroktan tinggi seperti Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex.
Kondisi tersebut disebabkan oleh melonjaknya harga minyak dunia usai ketegangan yang terjadi antara Rusia-Ukraina sejak Februari lalu. Sehingga, diperkirakan terjadi perpindahan konsumsi.
Namun, banyaknya migrasi tersebut dipastikan tidak serta merta terjadi, sebab saat ini pemilik kendaraan sudah banyak yang menyadari bahwa spesifikasi BBM beroktan rendah akan menggangu kinerja mesin.
Baca juga: Tahan Harga Pertalite, Pertamina Dinilai Tepat Jaga Ekonomi Masyarakat
Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada Prof Deendarlianto, mengungkapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan PSE, perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi.
Menurut dia, bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat.
“Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya,” ujar Deendarlianto, saat diskusi virtual dengan wartawan, Sabtu, 12 Maret 2022.
Deendarlianto menuturkan, BBM Peralite saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50 persen pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite. Selain itu, Pertamina juga menjual BBM berkualitas seperti Pertamax (RON92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).
Menurut Guru Besar Teknik Mesin UGM itu, dari sisi teknis jika ada konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite, mereka tentunya akan berpikir ulang karena alasan kinerja mesin tadi.
“Isu kualitas BBM ini kan sempat ramai juga tahun lalu, katanya Premium mau dihilangkan. Saya sebenarnya setuju itu karena memang emisinya jauh lebih besar. Dari pertimbangan net zero emission harusnya Pertamina memang sudah mulai mengurangi premium sehingga kita mulai beralih,” kata dia.
Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan BBM fosil secara umum masih akan mengalami kenaikan. Ini sesuai dengan proyeksi yang disusun pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sampai 2030.
Berdasarkan data pada jurnal yang diterbitkan Elsevier, yang ditulis Deendarlianto bersama dua rekannya yakni Indra Candra Setiawan dan Indarto, pada 2030 konsumsi minyak sebagai bahan bakar transportasi masih yang terbesar dengan persentase mencapai 64 persen.
Kemudian sektor industry (31 persen), komersial (1 persen), rumah tangga (1 persen) dan lainnya (4 persen).
Lebih rinci lagi, berdasarkan jurnal bertajuk Energy Policy tersebut, BBM terbanyak akan disedot oleh sektor transportasi darat atau jalan raya dengan persentase mencapai 90 persen.
“Total konsumsi minyak pada 2030 akan mencapai 122,6 miliar liter dan khusus untuk kendaraan roda empat sebesar 49,5 miliar liter,” ucap dia.
Deendarlianto menambahkan, PSE UGM juga telah membuat model kebutuhan energi khususnya BBM dengan mempertimbangkan bakal masuknya sumber energi lain seperti biodiesel, mobil listrik, etanol, hingga CNG.
“Data ini digunakan juga oleh Kemenperin dalam merancang aturan industri automotif nasional. Beberapa tahun ke depan memang secara linier kendaraan BBM naik, mungkin sampai 2025, lalu flat dan turun karena masuk kendaraan dengan bahan bakar lain. Tapi tidak mungkin turun sampai 0,” kata dia.
Dalam kajian PSE UGM, sektor aumotif ke depan akan mengarah teknologi yang didesain menghasilkan produk rendah emisi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus melihat secara integral semua sektor terkait, mulai dari industrinya, pengembangan infrastruktur jalannya, hingga kebijakannya.
“Rendah emisi berarti BBM harus ramah lingkungan. Maka saya setuju dengan penghapusan premium. Dari dulu saya setuju. Pertimbangannya pertama green energy, makanya kita masuk ke energy transisi, low karbon,” kata dia.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa untuk menghasilkan energi bersih memerlukan cost tambahan dan tidak semua golongan masyarakat mampu mengaksesnya. Sehingga, disinilah peran pemerintah untuk hadir dan memberikan subsidi bagi masyarakat tidak mampu.
“Kalau kita bicara Eropa dan Amerika Serikat, mereka tidak pernah ribut masalah BBM karena daya beli cukup kuat. Ini beda dengan kita, makanya negara harus hadir,” kata dia.