Kelangkaan Minyak Goreng, Komisi 6 DPR: Rantai Pasok Rusak

Deddy Yevri Hanteru Sitorus, Anggota Komisi VI DPR RI
Sumber :

VIVA – Hingga kini, persoalan minyak goreng masih menjadi persoalan di lapangan. Bahkan anggota Komisi VI DPR mengaku, belum ada penyelesaian yang komprehensif terhadap persoalan ini.

Hati-Hati! 5 Jenis Minyak Masak Ini Ternyata Buruk untuk Kesehatan

Itu disampaikan anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, yang menilai upaya penyelesaian atas kelangkaan minyak goreng, belum ada perkembangan.

“Saya belum melihat penyelesaian yang komprehensif terhadap permasalahan ini, sepertinya jalan di tempat," kata Deddy, melalui keterangan tertulisnya Senin 7 Maret 2022.

Daftar Harga Pangan 18 Oktober 2024: Bawang Putih hingga Telur Ayam Naik

Anggota dari Fraksi PDI Perjuangan itu mengatakan, kelangkaan masih terjadi di beberapa daerah hingga Jakarta. Sementara harga di pasaran, masih jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan. 

"Saya justru melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah. Rantai pasok itu mulai dari pekebun sawit, produsen CPO, pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang, sudah tidak saling nyambung. Semua pihak dirugikan," jelasnya. 

Daftar Harga Pangan 16 Oktober 2024: Daging Sapi hingga Gula Naik

Dia mengaku, mendapatkan laporan dari produsen CPO yang mengeluh tidak ada jaminan mereka bisa ekspor. Lanjut Deddy, walau sudah memenuhi persyaratan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak goreng. Sedangkan produsen, merasa kesulitan memperoleh bahan baku.

Lebih lanjut dia menjelaskan, jika dilihat dari struktur industri, ada sekitar 400 pabrik minyak goreng, hampir 51 persen dari total produksi dikuasai oleh hanya 4-5 perusahaan. Maka menurutnya, mudah untuk mengetahui sebaran hasil produksi mereka.

"Saya menerima keluhan dari banyak pengusaha sawit, baik domestik maupun PMA. Mereka bingung dengan berbagai ketidakjelasan aturan yang ada, dan ini sangat merugikan mereka," katanya. 

Deddy mengaku heran, karena total produksi CPO nasional mencapai 49 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan baku dalam negeri hanya sekitar 10 persen. Artinya lanjut dia, hanya butuh sedikit di atas 5 juta ton pertahun, tetapi malah tidak bisa terpenuhi.

"Bahkan bila ditambahkan dengan kebutuhan CPO untuk program B30 yang mencapai sekitar 9 juta ton, produksi kita masih sangat aman. Jika pun pengusaha dan eksportir CPO dikenakan kewajiban DMO 30 persen, mereka tetap akan untung karena harga internasional masih sangat tinggi mencapai Rp.15.000/kg," jelasnya.

Atas persoalan ini, dia berharap Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian ESDM bisa mencari solusi bersama-sama stakeholder terkait dan para pelaku industri. Duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng, terutama jelang Ramadan ini.

"Persoalan ini sudah terlalu lama tidak terselesaikan, sungguh memalukan. Sengkarut ini merugikan semua pihak, mulai dari hulu hingga ke hilir, konsumen dan bahkan negara secara tidak langsung juga dirugikan," jelas legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut. 

Menurutnya Kemendag harus bisa memberi solusi. Kata dia, terkuncinya ekspor CPO itu tidak hanya merugikan pengusaha sawit, tetapi juga merugikan penerimaan negara. Ketiadaan minyak goreng juga merugikan pedagang dan pelaku ekonomi, baik yang besar, menengah maupun yang kecil.

"Saya meminta Kemendag dan Menteri Perdagangan buka-bukaan, apa masalahnya hingga hampir 3 bulan lebih kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Seberapa efektif kebijakan DMP, DPO, HET dan pelarangan ekspor dalam memulihkan struktur produksi dan perdagangan komoditas ini? Apakah benar-benar tidak ada cara yang efektif dan sistemik untuk mengurangi benang kusut yang ada? Sampai kapan masalah ini akan teratasi, ini harus dijawab oleh Kementerian Perdagangan," pungkas Deddy.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya