Akademisi Ungkap Penyebab Utama Aturan JHT Jadi Polemik

Ilustrasi pekerja.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Salah persepsi di kalangan masyarakat mengenai program yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dinilai jadi penyebab utama polemik yang terjadi saat ini. Khususnya terkait perubahan mekanisme pencairan saldo Jaminan Hari Tua (JHT) melalui Permenaker No 2 Tahun 2022.

PPN Naik Jadi 12 Persen, Pemerintah Pastikan Kasih Perlindungan Penuh Jaga Daya Beli Pekerja

Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, polemik JHT di Indonesia terjebak pada persepsi pikiran pendek atau short sighted di kalangan pekerja dan sebagian kelompok masyarakat. Padahal program ini disusun dengan mempertimbangkan rendahnya kesadaran masyarakat pekerja dalam menyisihkan penghasilannya sebagai jaring pengaman sosial pada masa mendatang.

"Di seluruh dunia semua negara mewajibkan pekerjanya untuk nabung di hari tua. Ada yang bentuk uang pensiun dan jaminan hari tua," kata dia, Dikutip dari keterangannya, Jumat, 25 Februari 2022.

Tiga Tersangka Bentrokan Maut di Tanah Abang Ditangkap, 2 Masih Buron

Hasbullah menilai sudah selayaknya saldo JHT dicairkan ketika pekerja berusia tua atau sudah tidak lagi aktif di dunia kerja. Sehingga, pada akhirnya dana itu memberikan jaminan kelayakan hidup. 

"Jaminan sosial dan manfaat jaminan sosial hanya dapat dicairkan ketika tua," tambahnya.

Polisi Tangkap Tiga Orang Terkait Bentrokan Maut Pekerja Vs Warga di Tanah Abang

Hasbullah mengatakan, berdasarkan data KSPI pada 2020 terdapat 50.000 pekerja yang terkena PHK. Adapun Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan pekerja yang terancam PHK mencapai 143.000 orang.

Sementara itu, jumlah peserta JHT pada tahun lalu mencapai 52 juta orang. Artinya, polemik mengenai kekhawatiran perubahan skema pencairan JHT hanya mewakili 0,3 persen peserta di dalam program tersebut.

Ilustrasi diminta kerjakan pekerjaan teman.

Photo :
  • U-Report

"Apakah harus membongkar program JHT dengan menolak syarat pencairan usia 56 tahun? Lihat kepentingan masa depan bersama jangan lihat jangka pendek kan semua ada solusinya," ujarnya.

Lebih lanjut Hasbullah menilai, pekerja yang terkena PHK saat ini bisa memanfaatkan program baru BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pekerja tidak perlu khawatir mengenai masa depan ketika dikenai PHK, setelah adanya perubahan mekanisme pencairan JHT ini.

Dia menjabarkan, skema JHT dan JKP yang diusung Pemerintah sama dengan konsep jaminan sosial yang diberlakukan di Jerman. Bahkan di negara tersebut baru bisa dicairkan ketika usia pensiun, yakni 67 tahun.

Apabila di tengah usia produktif pekerja dikenai PHK, maka Pemerintah Jerman akan menanggung 60 persen upah pekerja setiap bulan selama satu tahun, sembari membantu mencarikan pekerjaan baru. Konsep ini sama persis dengan JKP yang akan diimplementasikan oleh Pemerintah.

Sementara itu, Hasbullah juga mengimbau kepada para pekerja untuk tidak perlu khawatir terkait dana yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, akumulasi dana JHT merupakan investasi pekerja untuk membangun negeri.

Dana jaminan sosial (DJS) yang besar merupakan sumber terbaik untuk diinvestasikan di dalam negeri, sebagai investasi pekerja (baik publik maupun swasta) untuk membangun negeri. Sebab, jadi investasi jangka panjang lain yang hasilnya akan dinikmati oleh pekerja di DN. 

Ketimbang meminjam dana luar negeri, yang bunga dan imbal hasilnya dinikmati pekerja di negara lain, dia mengimbau pekerja Indonesia untuk melihat manfaat jangka panjang, membangun negeri sekaligus menjamin masa depan pekerja.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya