Cara Pertamina, PLN dan Pupuk Indonesia Kembangkan Industri Hijau
- M Yudha P/VIVA.co.id
VIVA – Tiga BUMN yakni PT PLN, PT Pertamina, dan PT Pupuk Indonesia, menandatangani Nota Kesepahaman tentang 'Sinergi BUMN untuk mewujudkan Green Industry Cluster melalui Penyediaan Energi dalam Pengembangan Green Hidrogen dan Green Ammonia'.
Wakil Menteri BUMN I, Pahala N. Mansury berharap, apa yang sudah ditandatangani oleh ketiga BUMN tersebut nantinya bisa betul-betul direalisasikan dengan cepat. Sehingga bersama-sama mengembangkan green industry cluster atau klaster industri hijau.
"Kita juga sudah diskusikan bersama, dan tentunya kita berharap bahwa melalui sebuah perjanjian kerja sama yang hari ini ditandatangani hal itu bisa menjadi satu momentum untuk bagaimana merealisasikan green industry cluster tersebut," kata Pahala dalam telekonferensi, Rabu 23 Februari 2022.
Pahala menegaskan, Indonesia harus bisa melihat bahwa green economy dapat menjadi sebuah kesempatan emas bagi bangsa kita sendiri. Sebab, negara lain mungkin saja tidak memiliki sumber daya seperti yang kita miliki di Indonesia.
Apalagi, hal itu juga ditunjang dengan adanya sejumlah kawasan industri eksisting, seperti yang dimiliki oleh PT Pupuk Indonesia di Kawasan Industri Pupuk Kujang dengan total luasan sekitar 300 hektare.
"Kemudian ada juga Kawasan Industri Pupuk Iskandar Muda, serta pabrik dan Kawasan Industri Sriwijaya di Sumatera Selatan," ujarnya.
Pahala juga berharap, kawasan-kawasan yang memang saat ini sudah menjadi sentra-sentra produksi amonia. Serta ke depannya bisa semakin difokuskan untuk mengembangkan aspek hulu dan juga hilir dari produksi amonia tersebut.
"Termasuk juga di kawasan-kawasan tersebut, yang sebetulnya memiliki reservoir-reservoir yang selama ini juga mengalami penurunan produksi," kata Pahala.
Karenanya, lanjut Pahala, dalam upaya untuk mengembangkan metode dan menurunkan emisi ke depannya, perlu dilihat juga adanya tiga kesempatan yang bisa dimanfaatkan.
Pertama yakni soal bagaimana kita bisa mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) itu sendiri. Kedua terkait carbon capture utilization and storage, dan ketiga yakni soal kemungkinan mengurangi penggunaan energi primer beremisi tinggi secara bertahap.
"Nah, tentunya ketiga hal ini bisa kita lakukan di berbagai kawasan industri yang kita miliki tersebut. Tinggal bagaimana kita bisa membuat pengkajian dan juga melihat kesempatan untuk mengoptimalkannya, misalnya melalui mekanisme power wheeling atau pemanfaatan energi geothermal maupun energi hydro," kata Pahala.
"Semua ini saya harap bisa betul-betul difokuskan outcome-nya, supaya kita bisa mengembangkan kawasan industri yang betul-betul bisa memanfaatkan energi hijau di kawasan tersebut," ujarnya.