Ekonomi Global Berangsur Pulih, BI Ungkap Strategi Hadapi Risikonya

Gubernur BI Perry Warjiyo
Sumber :
  • Zoom meeting

VIVA – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, langkah yang terkalibrasi, terencana dan komunikasi yang baik harus dilakukan untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan moneter saat pemulihan ekonomi. Menurutnya, negara maju maupun negara berkembang harus melakukan normalisasi secara bersama-sama untuk mendukung pemulihan ekonomi global.

BI Catat Aliran Modal Keluar dari RI Capai Rp 4,31 Triliun di Pekan ke-IV Desember

"Jadi baik negara maju atau pun negara berkembang harus bersama-sama melakukan proses normalisasi (kebijakan) tersebut," kata Perry dalam telekonferensi di acara 'Seminar on Strategic Issues in G20: Exit Strategy & Scarring Effect' pada Kamis 17 Februari 2022.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Photo :
  • VIVA/Anisa Aulia
Kemenkeu dan BI Rapatkan Barisan, Susun Rencana Terbitkan SBN dan Operasi Moneter 2025

Perry menjelaskan, terdapat tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai risiko pemulihan perekonomian global. Pertama, perlunya proses normalisasi kebijakan khususnya dari negara maju dilakukan dengan kalibrasi yang tepat, direncanakan dengan baik, dan dikomunikasikan dengan baik.

Kedua, yaitu memperkuat daya tahan negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, agar dampak proses normalisasi proses dari negara maju tetap bisa mendukung pemulihan ekonomi domestik dan stabilitas. Di sinilah perlunya bauran kebijakan secara nasional maupun bauran kebijakan dari bank sentral.

BI Pastikan Transaksi QRIS Tidak Kena PPN 12 Persen

"Ketiga, kerja sama antara bank sentral dunia, termasuk melalui fasilitas pertukaran mata uang bilateral serta penggunaan lebih banyak local currencies pada transaksi bilateral. Seperti misalnya dengan menggunakan mata uang lokal untuk promosi perdagangan dan investasi," ujarnya.

Di tahun 2022 ini, Perry meyakini bahwa perekonomian global akan pulih dan tumbuh sekitar 4,4 persen. Di mana, sejumlah negara yang diyakini akan mengalami pemulihan ekonomi antara lain yakni Tiongkok, Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan India. 

Hal itu seiring dengan pemulihan ekonomi yang terjadi di Bank Sentral Amerika Serikat, yakni The Federal Reserve (The Fed), yang disebut-sebut akan melakukan normalisasi dan menaikkan suku bunganya.

"Tentunya pasar bisa memahami, dan sekarang sebelum The Fed Fund Rate naik kita juga melihat kenaikan suku bunga yield, US Treasury. Dimana, hal itu sudah direfleksikan dalam perkembangan suku bunga dunia, termasuk yield SBN dan perkembangan nilai tukar," kata Perry.

Dia juga memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan bunga kebijakan sebanyak empat kali, meskipun pasar memperkirakan lima kali. Meskipun, saat itu masih terdapat risiko peningkatan COVID-19 akibat varian Omicron, serta adanya gangguan pasokan dan energi.

5 Kebijakan yang Perlu Dikalibrasi

BI dalam hal ini melakukan lima kebijakan yang perlu dikalibrasi yaitu, kebijakan moneter, makro prudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar, dan inklusi ekonomi keuangan. Pada normalisasi kebijakan moneter, BI melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dengan bekerja sama dan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

“Agar kenaikan US treasury yield dampaknya tetap mendukung stabilitas sistem keuangan Indonesia. Tentu saja menjaga perbedaan yield antara SBN dengan US treasury dan juga tetap menjaga stabilitas nilai tukar,” jelas Perry.

Pada likuiditas BI juga akan mengurangi secara bertahap, dengan melakukan quantitative easing yang sangat besar 5,6 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua tahun terakhir. BI juga mulai menaikkan giro wajib minimum secara bertahap.

“Kami juga akan mulai menaikkan giro wajib minimum secara bertahap pada bulan Maret, Juni dan September ini dan kembali seperti sebelum COVID. Tapi dengan tetap memastikan Bank mampu menyalurkan kredit dan juga membeli SBN,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya