Pansus DPD Gandeng Faisal Basri Bedah Polemik Bisnis PCR COVID-19
- ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVA – Panitia Khusus (Pansus) PCR DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan memghadirkan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri dan politikus senior Akbar Faizal, pada Selasa, 8 Februari 2022.
Rapat yang dilakukan secara langsung dan virtual ini dihadiri oleh semua anggota Pansus, baik secara fisik, maupun virtual.
Fahira Idris senator dari DKI Jakarta, yang memimpin rapat tersebut. Ia mengutarakan alasan DPD membetuk Pansus PCR.
Menurut Fahira, hal tersebut dilakukan lantaran kuatnya desakan masyarakat daerah. Setiap kali bertemu dengan masyarakat, kata dia, pertanyaan tentang tes PCR selalu muncul.
"Misalnya, mengapa harga tes PCR selalu berubah-ubah? Mengapa masa berlakunya hanya 3 hari? Mengapa harganya berbeda antara Jawa dan luar Jawa? Dan masih banyak pertanyaan yang lain,” ujar Fahira dalam sambutan saat membuka rapat, dikutip Rabu, 9 Februari 2022.
Lebih lanjut, Ketua Pansus PCR ini mengatakan, desakan masyarakat semakin kuat setelah sejumlah media dan LSM merilis laporan yang menguatkan asumsi adanya praktik bisnis tidak sehat di balik kebijakan tes PCR yang diberlakukan Pemerintah.
“ICW pernah melansir bahwa keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp.10,46 Triliun. Itu belum termasuk keuntungan yang didapat importir,” kata Fahira.
Akbar Faizal yang hadir secara fisik mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan paparan dan hasil investigasinya. Dalam slide setebal 17 halaman, mantan anggota DPR RI dua periode tersebut menyatakan bahwa sulit untuk memungkiri adanya permainan bisnis di balik PCR.
Pada Agustus 2020, ketika tarif PCR berada di angka Rp1.500.000, Akbar mengungkapkan bahwa dirinya melakukan assessment terhadap semua komponen PCR. Dari basic reagen hingga jasa. Totalnya hanya Rp356.000.
"Jadi, ada selisih harga Rp1.135.000 antara harga real dengan harga yang dibayar masyarakat. Hitung-hitungan kami, untuk Jakarta saja, keuntungan dari bisnis PCR ini bisa mencapai Rp50.774.225.365 per minggu,” kata Akbar.
Sedangkan, Faisal Basri yang hadir secara virtual mengatakan bahwa sebenarnya ingin hadir fisik. Namun, karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, akhirnya memutuskan untuk hadir secara virtual.
Menurut dia, COVID-19 merupakan persoalan public health yang seharusnya diperlakukan sebagai public health bukan public goods. Saat COVID-19 diperlakukan sebagai public goods, maka akan ada conflict of interest dalam penangannya.
"Akibatnya, semua kebijakan terkait penanganan COVID-19 akan dianggap sebagai peluang bisnis dan mengeruk keuntungan,” kata ekonom senior ini.