Sri Mulyani Ungkap Dampak Pengetatan Moneter dan Inflasi Global ke RI
- VIVA/Mohammad Yudha Prasetya
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memetakan dampak yang dirasakan Indonesia dari keputusan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve yang akan memperketat kebijakan moneternya pada 2022.
Menurut Sri, Indonesia harus bersiap menghadapi gejolak di pasar keuangan dan perekonomian. Sebab, dia menekankan, pengetatan kebijakan moneter itu diikuti dengan munculnya varian Omicron COVID-19.
"Baru-baru ini AS mengumumkan tapering jauh lebih cepat dan menaikkan suku bunga lebih banyak pada 2022. Ini menyebabkan beberapa gejolak yang terjadi di pasar keuangan," kata dia, Selasa, 21 Desember 2021.
Baca juga: Menilik Prospek Kolaborasi Investasi di Kazakhstan, Begini Peluangnya
Sri mengatakan, inflasi di AS saat ini sudah mencapai 6,8 persen mengharuskan The Fed melakukan tapering lebih cepat dengan mengurangi pembelian bonds dari US$15 miliar per bulan menjadi US$30 miliar.
"Dan kemungkinan akan menaikkan suku bunganya hingga tiga kali pada 2022. Kenaikan suku bunga dan quantitative easing yang ditaper ini pasti akan memberikan dampak kepada capital flow," tegasnya.
Sementara itu, di negara-negara Eropa dan Inggris dikatakannya harus menghadapi kurangnya tenaga kerja dan disrupsi pada sisi supply di tengah tekanan inflasi tinggi, varian Omicron dan tapering bank sentralnya.
"Di Eropa dan Inggris selain Omicron meledak terutama di London sebagai episentrum diancam juga dengan tekanan inflasi yang tinggi dan disrupsi dari sisi labour dan supply," tegasnya.
Selain itu, China dikatakannya juga tengah melaksanakan switching policy, yaitu mengubah arah kebijakan pembangunannya yang menuju pertumbuhan ekonomi berkualitas dan hijau.
Kondisi ini semua akan membuat potensi stagflasi dan gangguan dari sisi pasokan, sehingga membuat kenaikan harga komoditas energi, kelangkaan input, kenaikan upah dan biaya shipping hingga naiknya ongkos produksi.
Bagi Indonesia, Sri mengatakan, ini memberikan ancaman berupa peningkatan volatilitas di pasar keuangan. Diantaranya risiko penurunan arus modal, melemahnya nilai tukar rupiah hingga penurunan saham.
"Transmisi dari kondisi global yang begitu dinamis akan kita lihat melalui volatilitas di pasar keuangan dalam bentuk capital flow kembali ke AS dan juga penguatan mata uang dolar," tegas dia.
Kemudian, rantai pasok dalam negeri akan terganggu karena perlambatan pertumbuhan ekonomi global, khususnya China dan AS. Penurunan permintaan terhadap barang ekspor juga akan terjadi.
Di sisi lain, hal itu membuat potensi inflasi impor. Kenaikan harga komoditas energi dan pangan berpotensi mendorong inflasi dan subsidi. Biaya input akan naik dan producer price juga naik.