Perputaran Ekonomi Budidaya Ikan di Danau Toba Capai Rp5 T Per Tahun
- Antara/ Irsan Mulyadi
VIVA – Kawasan Danau Toba menyimpan berbagai potensi ekonomi yang besar. Mulai dari usaha transportasi air, pertanian, peternakan, budidaya perikanan, dan industri serta pariwisata.
Danau terbesar di Kawasan Asia Tenggara itu pun tidak hanya menjadi objek keindahan alam. Tapi juga membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
Salah satu kegiatan ekonomi yang paling berkembang di Danau Toba adalah budidaya ikan nila atau tilapia dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Perputaran ekonomi budidaya perikanan itu pun tidak main-main. Bahkan, khusus ikan Nila dapat mencapai hingga Rp5 triliun per tahun.
Dikutip Kamis, 16 Desember 2021, dari Data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumatera Utara, pada tahun 2020 menunjukkan produksi ikan nila di Danau Toba adalah sebesar 80.941 ton. Ekspor ikan nila dari Danau Toba juga memberi kontribusi sebesar 21 persen untuk Produk Domestik Regional Bruto di wilayah Danau Toba dan dinilai jauh lebih besar dari sumbangan sektor lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, volume ekspor ikan nila pada 2020 mencapai 12,29 ribu ton. Dengan nilai ekspor Rp1,5 triliun. Dan penyumbang ekspor tilapia terbesar adalah Sumatera Utara, yakni sekitar 95 persen.
Namun demikian, seiring dengan kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Danau Toba sebagai tujuan wisata super prioritas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, serta SK Gub Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba.
SK menyebut daya dukung Danau Toba untuk KJA menjadi 10.000 ton per tahun, dengan tujuan agar kualitas air yang tercemar dapat terkendali. Kemudian ditetapkan bahwa Danau Toba merupakan danau berstatus oligotrofik atau danau dengan kandungan zat hara yang sangat rendah. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk memperbaiki atau mengembalikan kesuburan Danau Toba.
Merespons hal tersebut, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri mengatakan, pembatasan total ikan nila dari KJA sebesar 10.000 ton per tahun menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru, lanjut dia, kebijakan itu akan mengakibatkan berbagai masalah baru seperti puluhan ribu orang menganggur, negara kehilangan devisa Rp1,5 triliun per tahun, kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp5 triliun per tahun. Kemudian, penurunan ekonomi wilayah di sekitar Danau Toba di 7 kabupaten, serta memburuknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis.
Data GPMT Sumatera Utara 2020 menunjukkan, usaha KJA di Danau Toba menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang. Mereka terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, hatchery, pembesaran, bersama pengolahan ikan nila, pabrik es, cold storage, hingga packaging.
Jumlah tersebut tidak termasuk tenaga kerja di rumah makan, hotel, bersama dan distribusi, serta jasa terkait lainnya.
“Saya ungkapkan bahwa budidaya ikan nila di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, itu harusnya ditumbuh kembangkan, bukan untuk dimatikan,” kata Rokhmin dalam Webinar dengan tema ‘Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba’.
Rokhmin menegaskan, sejatinya pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan bisa berdampingan dan berkembang bersama. Dengan catatan ada pengaturan yang jelas dan hal itu telah terbukti berjalan di negara-negara lain seperti Jepang dan Malaysia dapat menjadikan KJA sebagai obyek wisata.
Ia pun memberikan beberapa rekomendasi terkait pengelolaan KJA Danau Toba. Di antaranya, pembatasan produksi ikan nila dari budidaya dalam KJA rata-rata 55.000 ton per tahun. Hal itu sesuai perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2018.
Kemudian, semua aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor.
Lalu, Zonasi lokasi KJA juga sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba yang disepakati oleh semua stakeholder utama. Serta, diberlakukan juga pembagian zonasi, baik zonasi untuk lokasi budidaya perikanan, industri lainnya maupun pengembangan pariwisata.
"Jadi, kalau ada sektor yang sudah terbukti sebagai pertumbuhan ekonomi, memberikan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan, Tidak seharusnya dihilangkan,” ucap Rokhmin.
Sementara itu, Guru Besar IPB yang juga Ketua Tim Riset Care LPPM IPB University tentang Resolusi Konflik Dalam Penanganan Sumber Daya Alam Danau Toba, Manuntun Parulian Hutagaol mengungkapkan. Industri KJA Danau Toba perlu dipertahankan karena memberikan dampak maupun kontribusi besar pada perekonomian di Kawasan Danau Toba.
Salah satunya, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta sebagai pondasi keberagaman basis perekonomian masyarakat Toba. Ia mengatakan, angka kemiskinan di Danau Toba sekitar 10 persen dan pendapatan rata-rata per kapita per tahun mereka jauh di bawah rata-rata nasional.
“Jadi memang betul-betul dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi, pariwisata dan industri lainnya itu untuk menggerakan perekonomian Danau Toba, sehingga kemiskinan yang terjadi di sana bisa segera teratasi," ujar Parulian.
Selain itu, dalam kondisi sekarang ini menurutnya tidak mungkin perairan Danau Toba diupayakan menjadi oligotropik. Sebab, secara teknis sangat sulit memperbaiki dari status eutropik ke Status oligotropik.
“Secara legal juga tidak mungkin melaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan wisata di perairan oligotrofik, wisata hanya diperbolehkan di perairan Mesotrofik, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota DPRD Sumatera Utara Gusmiyadi menyebutkan bahwa ada beberapa upaya terkait penanganan KJA yang semakin merambah di perairan Danau Toba. Sebab, kata dia, KJA bukan hanya milik beberapa perusahaan, tapi juga masyarakat dengan kapasitas luar biasa besar.
Hingga saat ini, luas permukaan KJA jika dibandingkan dengan luas permukaan Danau Toba hanya sekitar 0,4 persen. Sehingga sangat tidaklah mungkin KJA merupakan satu-satunya sumber pencemar yang ada di Danau Toba.
“Ini merupakan persoalan prioritas yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Sumatera Utara, sehingga kemudian Kesejahteraan Rakyat tidak harus dipertaruhkan,” ujarnya.