Cukai Rokok 2022 Naik Rata-rata 12%, AMTI: Hantam Industri Padat Karya

Ilustrasi pekerja pabrik rokok.
Sumber :
  • Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.

VIVA – Keputusan Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2022 rata-rata sebesar 12 persen mengejutkan industri hasil tembakau. Kebijakan ini tidak memberi kesempatan bagi sektor padat karya ini untuk pulih dan bertumbuh pascapandemi COVID-19.

Inisiatif Pengelolaan Sampah Puntung Rokok yang Menginspirasi

Sebab, Ketua Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, kebijakan itu akan kembali memukul kinerja IHT ke depannya.

Dia mengungkapkan, AMTI menghormati proses bagaimana pemerintah memformulasikan kenaikan CHT ini. Namun, hasil akhir kebijakan seperti yang disampaikan oleh Menkeu, sangat disayangkan.

Bea Cukai Banjarmasin Musnahkan 1,5 Juta Batang Rokok Ilegal

Menurutnya, kenaikan cukai 2022 masih cukup tinggi, jauh di atas angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tentunya, ini akan berdampak pada industri padat karya khususnya IHT yang merupakan  industri penyumbang 10 persen penerimaan pajak negara dan menyerap 6 juta tenaga kerja.

"Industri ini juga salah satu yang paling resilien dalam mempertahankan tenaga kerjanya di masa pandemi, yang mana banyak sekali sektor lain yang melakukan PHK,” kata Hananto Wibisono, di Jakarta, dikutip Rabu, Desember 2021.

Bea Cukai Kudus Tindak Ratusan Ribu Rokok Tak Berpita Cukai di Jepara

Seperti diketahui, Pemerintah memberlakukan kenaikan 12 persen mulai 1 Januari 2022. Kenaikan tarif cukai yang cukup tinggi terjadi pada kategori Sigaret Putih Mesin (SPM), mulai dari 13,9 persen (golongan I) hingga 14,4 persen (golongan II B).

Bahkan kategori Sigaret Kretek Tangan (SKT) pun tak luput dari kenaikan tarif cukai, dengan kenaikan tertinggi 4.5 persen. Naiknya tarif cukai SKT akan mengganggu proses pemulihan segmen padat karya ini.

"Namun demikian, AMTI menghargai pertimbangan Pemerintah terhadap perlindungan tenaga kerja melalui kenaikan cukai SKT yang jauh lebih rendah dari rokok mesin. Hal ini memberikan harapan bagi industri atas keberpihakan Pemerintah terhadap segmen padat karya," tambahnya.

Hananto menekankan bahwa segmen SKT memang memerlukan perhatian dan perlindungan lebih karena selama ini sangat terdampak pandemi COVID-19. Utamanya karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dimana mempengaruhi biaya operasional pabrik dan kapasitas produksi.

Pekerja sedang mengerjakan pelintingan rokok.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

“Ada extra cost yang harus dikeluarkan oleh pabrikan sebagai upaya untuk menerapkan protokol kesehatan. Di antaranya, penyediaan masker, hand sanitizer, dan lainnya. Belum lagi terkait kapasitas pelinting di pabrik yang harus dikurangi selama pandemi demi mengikuti protokol Kesehatan yang pastinya memengaruhi kapasitas produksi SKT," ujarnya. 

"Perlu diingat juga, pekerja SKT didominasi para perempuan yang mayoritas tulang punggung keluarga. Harus ada perlindungan ekstra untuk kebijakan tarif cukai SKT karena agar mereka yang menggantungkan hidupnya pada segmen ini bisa mempertahankan kelangsungan hidup," paparnya. 

Pemberlakuan kebijakan per tanggal 1 Januari 2022 juga menyulitkan para pelaku IHT, mulai dari hulu ke hilir, untuk melakukan serangkaian penyesuaian. Dengan minimnya waktu penerapan ini, diharapkan Bea Cukai juga siap untuk memenuhi permintaan pencetakan pita cukai. Implementasi kebijakan ini jangan sampai mengganggu proses produksi. 

Mata rantai IHT, lanjut Hananto, masih akan menunggu realisasi resmi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai penerapan tarif cukai yang baru ini. Seluruh pelaku industri IHT, mulai dari hulu hingga hilir, juga akan melakukan konsolidasi internal untuk mulai menghitung secara nyata kenaikan harga jual eceran (HJE) produk rokok sebagai dampak kenaikan CHT.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya