BI Ungkap Pentingnya Rupiah Digital dan Dukungan Internasional
- Pixabay
VIVA – Bank Indonesia menekankan pentingnya mengangkat kembali pembahasan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) secara lebih serius. Hal tersebut merupakan  saat Presidensi Indonesia di G20 pada 2022.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, isu ini akan banyak diangkat dan mendapat dukungan dari negara lain. Karena ada beberapa risiko yang berdampak serius terhadap makro ekonomi jika tidak diantisipasi.
"Ini (Mata uang digital)Â menjadi isu yang banyak diangkat dan dapat dukungan dari banyak negara. Untuk Indonesia bahwa sebagai prioritas," kata dia dalam diskusi virtual, Senin, 6 Desember 2021.
Dody menekankan, risiko utama jika tidak diantisipasinya keberadaan mata uang digital termasuk keharusan adanya rupiah digital adalah tidak terdatanya dengan baik aliran uang yang berada di masyarakat.
"Pasti akan kita lihat bagaimana aliran uang menjadi sangat-sangat cepat. Mungkin tanpa registrasi yang kuat akan sulit kita memonitor pergerakannya," tegas Dody.
Jika aliran uang itu tidak terdata dengan baik, maka dipastikannya akan sangat berpengaruh terhadap pola permintaan atau konsumsi masyarakat, khususnya berkaitan dengan inflasi.
"Pada ujungnya kepada mandat bank sentral di inflasinya maupun stabilitas sektor keuangan. Jadi ini yang kita lihat dari sisi besaran makronya, agregatnya, apa sih impact-nya dari makro financial risk," tuturnya.
Di sisi lain, dia melanjutkan, di banyak negara mata uang digital ini juga telah berpengaruh terhadap efektivitas pengendalian aliran modal, khususnya yang berkaitan dengan capital flows management.
"Kalau tekanan kepada nilai tukar itu sangat-sangat tinggi terpaksa harus CFM. Tapi kalau aliran dana modalnya itu melalui digital currency tanpa ada tekanan ke nilai tukar pun sudah menyulitkan bank sentral," ungkap Dody.
Dengan demikian, Dody menekankan, selama Presidensi G20 pada 2022 nanti BI bersama dengan otoritas lainnya akan menekankan pentingnya pembahasan CBDC ini agar lebih konkret.
"Jadi di sini lah kemudian kompleksitas dari sisi efisiensi yang terbentuk. Ada potensi embedded risk yang harus dihadapi otoritas," tutur dia.