Gubernur BI Ramal Harga Energi Tekanan Inflasi Semester II-2022
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
VIVA – Harga-harga energi yang terus melambung tinggi akibat naiknya permintaan di tengah rendahnya pasokan berpotensi memberikan dampak tingginya harga-harga barang pada 2022.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, risiko tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi diperkirakan terjadi pada Semester II-2022. Diiringi tekanan akibat tapering The Federal Reserve.
"Ada kemungkinan tekanan inflasi khususnya paruh kedua tahun depan," kata dia di ruang rapat Komisi XI DPR, Senin, 29 November 2021.
Baca juga: Poin-poin UU Cipta Kerja yang Tetap Lanjut Usai Putusan MK
Kenaikan harga-harga barang atau tekanan inflasi ini dipastikannya terjadi jika kedua faktor tersebut terjadi serta dapat menekan laju pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama dunia lain, khususnya dolar AS.
"Kalau terjadi kenaikan harga energi ataupun kenaikan permintaan yang lebih cepat. Bisa juga risiko nilai tukar karena ada tapering," tegasnya.
Meski demikian, Perry menekankan, seperti yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 asumsi makro untuk inflasi akan tetap berada di kisaran 3 persen.
"Yaitu, berdasarkan kesamaan asumsi makro di dalam APBN 2022 pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, inflasi 3 persen dan nilai tukar rupiah rata-rata sepanjang satu tahun Rp14.350," tegas dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga telah mengungkapkan bahwa adanya potensi tekanan harga akibat kenaikan harga energi. Salah Satunya adalah bengkaknya realisasi subsidi energi.
Dia mengatakan, hingga Oktober 2021 realisasi subsidi energi telah mencapai Rp97,6 triliun. Angka ini naik hingga 20 persen dari catatan pada Oktober 2020 yang saat ini masih sebesar Rp81,3 triliun.
"Subsidi ini naik karena peningkatan harga minyak dunia," kata dia saat konferensi pers secara virtual akhir pekan lalu.