Disnaker Sumsel Rekomendasikan UMP 2022 Tetap Rp3,14 Juta
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Selatan mengatakan, besaran upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun 2022 yang direkomendasikan tetap senilai Rp3,14 juta. Angka ini tidak ada perubahan dibandingkan tahun 2021.
Kadisnakertrans Sumsel Koimudin di Palembang mengatakan, hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan besaran nilai UMP tahun ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 sebagai turunannya.
Di mana dalam pasal 191 a, mengamanatkan upah minimum yang ada saat ini dijadikan sebagai dasar untuk penyesuaian (adjusting) nilai upah minimum pada tahun-tahun berikutnya.
“Belum final. Hasil penyesuaian UMP bersama tersebut akan diusulkan ke Gubernur sebagai bahan pertimbangan. Maka keputusan masih menunggu penetapan gubernur paling lambat 21 November mendatang,” kata dia seperti dilansir Antara, Selasa 16 November 2021.
Menurutnya, setelah adanya UU Cipta kerja tersebut, upah minimum tidak lagi memakai komponen kebutuhan hidup layak (KHL) seperti sebelumnya melainkan menyesuaikan pada kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan.
“Terutama terkait daya beli, median upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Lalu besaran UMP tersebut nantinya akan digunakan untuk 11 kabupaten kota, kecuali, Palembang, Banyuasin, Musi Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas dan OKU Timur karena mereka bakal menetapkan UMK sendiri.
Sementara itu Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Sumarjono Saragih mengatakan, pihaknya tidak memandang positif terkait besaran nilai upah tersebut karena menganggap perhitungan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada.
“Apindo taat regulasi, di mana penghitungannya sudah sesuai formula, sehingga tidak ada kenaikan,” ujarnya.
Kendati demikian berdasarkan informasi yang dihimpun, besaran nilai UMP tersebut mendapat penolakan dari unsur pekerja dalam rapat dewan pengupahan yang berlangsung Senin, 15 November itu ditandai serikat pekerja tidak menandantangani berita acara rapat.
Alasannya, mereka menganggap upah minimum seharusnya dihitung berdasarkan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Unsur pekerja juga menolak penggunaan formula PP nomor 36 tersebut lantaran dinilai tidak mencerminkan kondisi buruh yang sebenarnya. Melainkan data yang didapat itu berdasarkan survei penduduk secara umum, bukan khusus untuk pekerja. (Ant)