Wamen BUMN: Secara Teknis Garuda Bangkrut, Tapi Legalnya Belum

Pesawat Garuda Indonesia
Sumber :
  • Dok. Garuda Indonesia

VIVA – Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia pada dasarnya secara teknikal sudah disebut sebagai perusahaan yang bangkrut.

Dukung Ketahanan Pangan, PT Berdikari Jamin Stabilitas Harga dan Stok Pangan Ternak Bagi Masyarakat

Saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI dia pun mengungkapkan sebab-sebabnya. Menurutnya istilah bangkrut secara teknikal ini merupakan istilah yang biasa digunakan bank.

"Ini istilah perbankan sebenarnya technically bankrupt pak," tutur dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, 9 November 2021.

Cara BKI Bangun Kesinambungan Bisnis dengan Mitra Kerja hingga Pelanggan

Baca juga: Tak Putus Asa, Kementerian BUMN Terus Cari Cara Sehatkan Garuda

Kartika menekankan, meski secara teknikal perseroan tersebut sudah bangkrut namun secara legalnya belum. Oleh sebab itu, ini yang tengah diperjuangkan oleh Kementerian BUMN dan manajemen Garuda.

Ketua OJK Minta Penghapusan Utang Macet Petani hingga Nelayan Segera Dijalankan

"Tapi legally belum. Ini yang kita sekarang sedang berusaha bagaimana kita bisa keluar dari situasi ini," ucapnya.

Menurutnya, Garuda secara teknis bangkrut karena neraca keuangan Garuda sudah tidak lagi bisa mengakomodir seluruh kewajibannya, termasuk kewajiban jangka panjang.

"Karena practiacally semua kewajiban Garuda sudah tidak dibayar bahkan gajipun mungkin sudah sebagian ditahan," tutur dia.

Dia menekankan, neraca Garuda saat ini mencetak rekor terbaru dari sisi negatif ekuitas. Perseroan itu dikatakannya mengalami negatif ekuitas sebesar US$2,8 miliar atau setara Rp40 triliun.

"Negatif ekuitas US$2,8 miliar, jadi ini rekor. Kalau dulu dipegang Jiwasraya sekarang udah disalip sama Garuda," paparnya.

Dari sisi aset, dia mengatakan, BUMN penerbangan ini hanya memiliki catatan sebesar US$6,92 miliar. Akan tetapi, dari sisi liabilitasnya mencapai US$9,75 miliar.

Garuda Indonesia/Ilustrasi.

Photo :
  • ANTARA Foto/Muhammad Iqbal

"Utangnya mencapi US$7 miliar, tadi itu plus utang dari lessor yang tidak terbayar US$2 miliar lagi jadi totalnya US$9 miliar sebenarnya," ucapnya.

Dari total liabilitas ini, pria yang akrab disapa Tiko itu mengatakan, terbesar berasal dari utang dari lessor yang mencapai US$6,3 miliar. Diikuti utang bank yang mencapai US$967 juta.

"Jadi utang ke lessor yang paling besar US$6,3 miliar itu ada komponen jangka panjang dan ada komponen yang tidak terbayar dalam jangka pendek," papar dia.

Kondisi ini dikatakannya diperburuk dengan adanya standar akuntansi atau PSAK 73 yang membuat operating list yang tadinya dicatat sebagai beban biaya mendatang menjadi dimasukkan sebagai liabilitas saat ini.

"Tadinya dicatat sebagai future cost itu dikinikan menjadi liabilitas semua ini membuat dampaknya ke neraca makin berat," ungkap Tiko.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya