Menerawang Efektivitas Kenaikan Cukai Rokok Tekan Prevalensi Merokok
- U-Report
VIVA – Kenaikan tarif cukai rokok di Indonesia selama ini dinilai sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok. Sehingga, jika tarif dinaikkan lagi terlalu tinggi dikhawatirkan malah bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah atau subtitusi ke rokok ilegal.
Karena itu, Peneliti FEB Universitas Padjajaran, Wawan Hermawan berpendapat, kenaikan tarif cukai rokok tahun depan, bisa meningkatkan prevalensi merokok, akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah.
Berdasarkan hasil kajiannya, persentasi perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Penurunan ini, menurut Wawan, konsisten terjadi untuk kelompok umur 13-15 tahun dan kelompok umur 16-18 tahun.
Kelompok umur 10-12 tahun terjadi kenaikan pada tahun 2019 ke tahun 2020, walaupun persentase perokok dari kelompok umur 10-12 tahun sangat rendah dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.
"Terdapat perbedaan antara target pada RPJMN 2020-2024 dan data publikasi BPS. Selain itu perkembangan prevalensi merokok juga menunjukkan sudah terjadi penurunan dari tahun 2018 sampai dengan 2020," kata Wawan dalam webinar bertajuk 'Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau', dikutip Senin, 8 November 2021.
Wawan mengatakan prevalensi merokok umur 10-18 tahun di Indonesia sudah turun sampai dengan 3.81 persen untuk perokok tembakau, dan 3.90 persen untuk perokok tembakau dan elektrik.
Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017.
"Kami memandang Pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.
Baca juga: Investasi Pemerintah Capai Rp3.173,1 T di BUMN hingga Lembaga Asing
Sementara itu, Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkap,terdapat hal yang kontradiktif terkait kebijakan cukai rokok. Di mana penerimaan cukai justru turun ketika tarif cukai dinaikkan.
Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kenaikan tarif cukai untuk menurunkan prevalensi perokok tidak sesuai yang diharapkan.
“Ini artinya tidak sesuai dengan yang diharapkan prevalensi sesuai tapi penerimaan malah turun,” katanya.
Tauhid merinci, ketika ada kenaikan tarif cukai di ahun 2020 sebesar 23,5 persen, kenaikan penerimaan cukai justru hanya sebesar 3,8 persen. Angka ini jauh dibandingkan tahun 2019 yang cukainya mengalami kenaikan 13,8 persen.
Di sisi lain, Tauhid juga menilai semakin tinggi tarif maka terbukti semakin tinggi peredaran rokok ilegal. Berdasarkan data 2020, kenaikan tarif cukai menyebabkan persentase peredaran rokok ilegal sebesar 4,86 persen. Angka ini naik dari tahun 2019 yang sebesar 3,03 persen.
“Karena kalau terlalu tinggi tarif cukai, rokok ilegal akan naik. Bahwa jangan juga terlalu tinggi kalau rokok ilegalnya punya peluang banyak,” lanjutnya.
Menurut Tauhid, kenaikan cukai tahun 2022 juga perlu mempertimbangkan aspek pemulihan ekonomi akibat pandemi. Sehingga level moderat tetap diperlukan.
Tauhid juga memandang perlu dirumuskan formula baku dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok ilegal dan petani tembakau. Dengan mempertimbangkan data update tiap tahunnya.
"Konsistensi dalam pelaksanaan penerapan formula/dimensi sehingga dapat memberikan kepastian bagi kesehatan, dunia usaha maupun masyarakat," katanya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan. Dia mengkhawatirkan kondisi produksi rokok bercukai atau legal semakin tergerus.
Hal ini disebabkan karena kenaikan cukai yang terlalu eksesif dari tahun ke tahun. Selain itu peningkatan tren konsumsi rokok ilegal karena harga rokok bercukai semakin mahal.
Ia mencatat, produksi rokok turun 3,56 miliar batang setiap tahun sejak tahun 2013 sampai dengan 2021."Ini berdampak pada industri, petani dan pendapatan negara. Kenaikan cukai itu pada akhirnya rokok ilegal mengambil alih," ujarnya.
Henry menyatakan, pada 2020 produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) turun sebanyak 47,6 miliar batang (turun 17 persen) dengan penyerapan turun 47.600 ton tembakau di 2020 pada pabrik SKM.
Kemudian, untuk produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) tahun 2021 perkiraan Gappri mencapai 297,53 miliar batang. Di mana turun 10 persen dari tahun ke tahun.
Menurutnya hal ini karena kenaikan cukai IHT yang eksesif pada 2020. Di mana tarif naik 23 persen dan HJE naik 35 persen. Adapun daya beli masyarakat semakin menurun.
Karena itu, GAPPRI meminta tarif industri hasil tembakau (IHT) pada tahun 2022 tidak naik mengingat kondisi IHT saat ini sangat terhimpit dan kritis. Sehingga perlu relaksasi minimum 3 tahun bagi dunia usaha IHT untuk pemulihan.
"Diperlukan roadmap IHT yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan sebagai peta jalan yang legal dan pasti," ungkapnya.