Pakai Strategi Ini Penataan Sawit di Kawasan Hutan Tak Tumpang Tindih
- ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
VIVA –Penataan kebun sawit di kawasan hutan selalu menjadi sorotan dalam pengembangan sektor tersebut hingga saat ini. Salah satu solusi dari permasalahan itu diperkenalkan yaitu strategi Jangka Benah (SJB).
Strategi tersebut dinilai dapat menjadi solusi jalan tengah dalam penyelesaian ketidaksesuaian atau tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain. Salah satunya untuk perkebunan sawit.
Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Susanti menjelaskan, Jangka Benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak. Salah satunya akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur terhadap kawasan hutan.
Menurut Ari, SJB dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mengubah kebun kelapa sawit monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Seperti penambahan spesies tanaman berkayu pada kebun kelapa sawit monokultur.Â
Kemudian, tahap kedua adalah bertujuan untuk meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit, sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami.
"Di Bukit Bamba itu mereka sudah menerapkan berbagai macam model-model kebun sawit campur. Misalnya, sawit dicampur dengan dengan jengkol, pete, sungkai, jelutung. Di Kalimantan Tengah, sawit dicampur dengan sayur mayur, seperti sawi yang mudah untuk tumbuh," kata dia pada Webinar ‘Strategi Jangka Benah, Solusi Bagi Kesejahteraan Rakyat dan Kawasan Hutan’, dikutip Rabu, 27 Oktober 2021.
Smenetara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto menyampaikan, pihaknya menyambut baik atas inisiatif tersebut, mengingat Kalteng dikategorikan memiliki luas tutupan sawit cukup besar, yakni mencapai 1,7 juta hektare.
Namun dari total luasan sawit tersebut, baru sebanyak 1,3 juta hektare Perkebunan Besar Swasta yang telah memiliki izin. Serta, dari total 1,3 juta hektare itu sebanyak 600 ribu hektare di antaranya masuk kawasan hutan.
Ia berharap, SJB ke depan tidak lagi menempel pada perizinan lain dan dapat dibuatkan peta indikatif. Selain itu SJB juga agar terus disosialisasi, hingga bisa memberikan kontribusi, kesejahteran, serta penghasilan lebih besar daripada sistem monokultur.
"Masyarakat itu sederhana, enggak perlu ganti-ganti sistem. Yang penting apa yang masyarakat tanam itu ada optekernya atau pasarnya langsung masuk. Kalau tidur tapi sambil tanam sawit, orang yang beli datang," jelas dia.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Erna Rosdiana mengatakan, kebijakan Jangka Benah yang ditetapkan dalam perhutanan sosial khususnya, merupakan sebuah proses untuk kepentingan ekonomi yang saat ini menjadi kepentingan masyarakat.
Baca juga:Â Netizen yang Doakan Aceh Kembali Dilanda Tsunami Akan Dipolisikan
Menurut dia, semua diharapkan bisa terlindungi dengan Jangka Benah. Khususnya dalam periode kurang lebih 15 sampai 25 tahun.Â
"Praktik di lapangan tentu saja saat ini belum teridentifikasi dengan baik. Namun, di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Tengah, yang difasilitasi oleh teman-teman dari Kehati dan UGM, sudah melakukan uji coba ya di sana, bagaimana Jangka Benah itu bisa dilaksanakan oleh masyarakat," ungkapnya.Â
"Saya kira dengan pengalaman uji coba ini maka kita bisa diimplementasikan nanti di tempat-tempat yang lain," tambahnya.
Ia pun menekankan kolaborasi lintas sektor, baik kementerian lembaga dan Pemerintah Daerah. Kolaborasi menjadi kunci Jangka Benah dapat diterapkan di berbagai kawasan hutan Indonesia.
"Kami memang tidak mungkin kerja sendirian tanpa dukungan dari pemerintah daerah dan kementerian dan lembaga terkait lainnya. Karena ini urusannya adalah urusan kesejahteraan rakyat, maka jadi urusan semua sektor," ungkapnya.