Kejar Target Tekan Emisi Gas Rumah Kaca Perlu Komitmen Seluruh Sektor
- Pixabay
VIVA – Target penurunan emisi Gas Rumah Kaca perlu dilakukan secara masif dan komprehensif dari segala sektor untuk mengejar ketertinggalan target hingga 2030. Sehingga bisa membantu upaya pemanfaatan lahan dan energi yang kini masih menjadi sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia.
Program Director Coaction Indonesia Verena Puspawardhani mengungkapkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 13,2 persen dari baseline 2019.
"Jika dilihat dari indikator pembangunan rendah karbon pada sektor energi, persentase itu setara dengan 142 juta ton karbon pada 2024," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Road To Net Zero: Energy, Forest, And Ocean' dikutip, Minggu, 24 Oktober 2021.
Komitmen untuk memangkas emisi karbon juga tercermin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN. Pada 2030 nanti, bauran energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan PLN akan mencapai 24,8 persen.
Selama sepuluh tahun mendatang, PLN berencana memensiunkan 1,1 GW PLTU dan menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW. Di mana 51,6 persen atau 20,9 GW merupakan pembangkit dengan energi terbarukan. Sebagian besar pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini berupa pembangkit tenaga air, panas bumi dan energi surya.
Menurut Verena, RUPTL hijau menargetkan kurangi emisi sebesar 100 juta ton pada 2030. “Namun kita jangan hanya memangkas emisi dari sisi energi saja, jadi harus ada sektor lain yang dikejar agar target penurunan emisi di Indonesia segera tercapai,” kata Verena.
Menurutnya, di sektor energi, program inti pembangunan rendah karbon adalah pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan substitusi bahan bakar minyak. Diharapkan pada 2024 nanti, bauran energi terbarukan dalam energi primer telah mencapai 19,5 persen (23 persen pada 2025).
Baca juga: Tak Batasi Angkutan Logistik Kala Pandemi, Kemenhub Ingatkan Ini
Targetnya, pada 2024 nanti terjadi penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 13,2 persen dari tingkat emisi 2019. Emisi GKR merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim yang dapat mengancam kehidupan bangsa. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung berbagai upaya dalam rangka menanggulangi perubahan iklim.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menyoroti tentang pekerjaan rumah Pemerintah yang masih belum optimal merestorasi lahan gambut. Dia berharap moratorium perkebunan sawit menjadi satu faktor penting untuk perlindungan lahan gambut.
Total lahan gambut yang telah direstorasi pada kawasan budidaya berizin/konsesi Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, hanya mencapai 143.448 hektare dari target 1.784.353 hektare sampai tahun 2020 atau hanya 8 persen dari target. Sementara lahan gambut yang berhasil direstorasi pada kawasan non-izin (HL, HP, KK, APL) baru mencapai 682.694 dari target 892.248 hektare sampai tahun 2020 (77 persen dari target).
Chief Executive Officer Yayasan EcoNusa Bustar Maitar mempersoalkan tentang kondisi hutan mangrove yang terus mengalami kerusakan. Luas hutan mangrove dunia seluas 16,5 juta hektare, dari luasan itu 33 persen ada di Indonesia. Dalam empat tahun terakhir terjadi kerusakan dan paling banyak kerusakan di Indonesia.
"Faktor penyebab utama kerusakan alih fungsi lahan seperti tambak, perkebunan sawit, pertanian dan lain-lain," tambahnya.