Lagi Pandemi, PMN Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dinilai Wajar

Konstruksi proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Sumber :
  • VIVA/Dusep Malik

VIVA – Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung bikin heboh publik saat ini. Namun, PMN yang rencananya diberikan itu dinilai jadi solusi yang tepat, sebab proyek itu perlu dukungan Pemerintah akibat eskalasi biaya atau cost overrun.

117.860 UMKM Sudah Masuk Ekosistem Digital PaDi UMKM, Transaksi Capai Rp 7 Triliun

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, keputusan Pemerintah itu tepat  dalam situasi darurat terkait keberlangsungan proyek itu. Suntikan modal dari Pemerintah memang bisa menjadi alternatif solusi.

“Karena situasi emergency, maka kelihatannya PMN dalam jangka pendek ini bisa menjadi solusi alternatif,” kata Toto dikutip dari keterangannya, Rabu, 13 Oktober 2021.

Bantu Pemerintah Capai NZE pada 2060, Telkom Indonesia Lakukan Ini

Toto menjelaskan, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung menggunakan skema business to business (B to B). Namun saat ini progres pembangunan proyek sudah lebih dari 70 persen dan jika mandek akan merugikan Pemerintah juga.

Adapun entitas pemilik proyek ini adalah PT Kereta Cepat Indonesia - China (KCIC) yang terdiri atas konsorsium BUMN dan perusahaan asal negeri Tirai Bambu.

Presiden China Xi Jinping: Solusi Dua-Negara Fundamental untuk Perdamaian Palestina

“Lalu ada masalah dari sisi financing proyek, terutama terjadinya cost overrun project. Ini menimbulkan kesulitan karena konsorsium lokal dari BUMN agak kesulitan akibat situasi pandemi,” jelasnya.

Toto mengungkapkan, saat in hampir semua perusahaan pelat merah mengalami kinerja buruk terdampak pandemi. Hal itu terlihat dari profit konsolidasi BUMN tahun lalu hanya sekitar Rp30 triliun, jauh dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp120 triliun.

Baca juga: AP I Kasih Insentif Maskapai yang Aktifkan Rute Internasional ke Bali

“Dalam kondisi dunia usaha yang masih terkena dampak pandemi, maka sulit mencari dana talangan yang bersifat B to B,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) PIter Abdullah menilai, kas keuangan negara bisa berperan dalam pembiayaan proyek tersebut. Meskipun diakui akan memberikan beban lebih.

Dia pun menjabarkan, ada risiko keuangan langsung dan tidak langsung dari keputusan ini. Namun hal itu konsekuensi yang harus dialami kala suatu negara sangat gencar dalam membangun infrastruktur.

“Kita sering kontradiktif. Kita selalu minta BUMN bisa besar dan bersaing di global, tapi kita tidak mau keluar modal. Kalau kita tidak mau keluar uang, tidak ada proyek. Tidak ada kemajuan. Semua pasti ada risiko,” jelasnya.

Presiden Jokowi dan Menko Marves Luhut Pandjaitan tinjau progres kereta cepat

Photo :
  • YouTube Sekretariat Presiden

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya menjelaskan alasan biaya pembangunan proyek kereta cepat membengkak dari semula US$6,07 miliar menjadi US$8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun. Salah satunya mengenai pengadaan lahan.

“Banyak faktor di lapangan yang membuat akhirnya biaya bertambah. Seperti relokasi fasilitas umum dan sosial. Hal ini menambah luas pengadaan lahan bertambah,” kata Mirza.

Terjadinya overrun lanjutnya juga disebabkan karena penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api. Infrastruktur itu merupakan hal yang penting dalam proyek ini.

“Pada anggaran awal, kita mengacu apa yang terjadi di China. Di China penggunaan frekuensi termasuk investasinya tidak perlu membayar pada siapapun. Sementara di Indonesia, kebijakannya lain. Harus ada biaya investasi yang dikeluarkan dan ini di luar anggaran awal,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya