Mendag Prediksi RI Bakal Jadi Raksasa Perdagangan Karbon Dunia
- Antara/HO-Kemendag
VIVA – Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan, Indonesia berpotensi sebagai negara superpower dunia dalam perdagangan karbon. Meskipun dia belum bisa menargetkan kapan itu terealisasi.
Ini disampaikannya saat menghadiri Dewan Menteri Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris, Prancis pada pekan ini. Dia berbicara di sesi pleno Building a Green Future.
“Indonesia berpotensi menjadi carbon offset superpower di dunia melalui perdagangan karbon sukarela secara internasional," ungkap Lutfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat 8 Oktober 2021.
Baca juga: Bikin Geger, Ini Penampakan Bambu yang Dipakai PUPR Buat Jalan Tol
Untuk merealisasikan kapasitas ini, Lutfi menekankan kerja sama internasional diperlukan untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam rangka pengembangan kerangka regulasi kebijakan yang efektif.
Lutfi juga secara tegas menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagaimana tercantum dalam kesepakatan Paris Agreement. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan carbon pricing.
Pada sesi Building a Green Future ini juga dibahas upaya mendorong agenda pemulihan ekonomi yang kini juga dikemas untuk mendukung agenda transisi menuju ekonomi hijau, inovasi, dan peluang ekonomi baru bagi para pekerja.
Untuk mencapai upaya pemulihan ekonomi yang dipadukan dengan pencapaian target net zero emission, tentunya memerlukan kerja sama internasional. Hal ini dapat dilihat dari beberapa inisiatif yang diluncurkan beberapa negara.
Misalnya, dia menyebutkan Green Deal di Uni Eropa, Build Back Better World diantara negara-negara anggota G7, Beyond Zero initiative di Jepang dan Blue Dot Network antara Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
Pada kesempataan ini, Lutfi juga menyatakan telah melaksanakan pertemuan bilateral dengan Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Daya Saing Ekonomi Prancis Franck Riester.
Pertemuan membahas penguatan hubungan perdagangan bilateral dan investasi kedua negara antara lain terkait diversifikasi produksi nikel, energi terbarukan, akses pasar produk ban dan TV digital.
"Kerja sama internasional diperlukan untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam rangka pengembangan kerangka regulasi kebijakan yang efektif,” ujarnya.