Indef Sebut Mengembalikan Defisit APBN ke Bawah 3 Persen Sulit Dicapai
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai alasan terburu-burunya pemerintah dan DPR menyepakati RUU Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menduga, sikap terburu-buru itu dipicu kewajiban defisit anggaran pada 2023 harus kembali ke level di bawah 3 persen dari yang saat ini dibolehkan di atas itu oleh UU Nomor 2 Tahun 2020.
"Kami melihat memang kenapa ini didahulukan dan mulai 2022 karena target defisit 3 persen pada 2023," kata Tauhid saat konferensi pers, Rabu, 6 Oktober 2021.
Baca juga: Speedboat Bupati Fakfak Sempat Hilang Kontak Usai Sambut Jokowi
Dengan harus kembalinya defisit APBN di level 3 persen ke bawah, Tauhid menekankan, pemerintah membutuhkan penambahan penerimaan negara sebesar Rp600-700 triliun pada 2023, sehingga regulasi terkait penerimaan dioptimalkan.
"Kita butuh Rp600-700 triliun pada 2023 maka tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak itu sangat sulit target defisit dicapai," paparnya.
Meski demikian, Tauhid menilai, langkah yang ditempuh pemerintah ini tidak akan bisa merealisasikan kewajiban penerimaan negara harus kembali ke level 3 persen. Sebab, pemulihan ekonomi hingga saat ini belum stabil.
"Apa yang terjadi sekarang, baik dari penerimaan negara maupun perpajakan kami melihat punya potensi target defisit tersebut bisa melebar di atas 3 persen," ujarnya.
Dia menekankan, faktor pertama yang membuat target itu tidak akan tercapai karena pemulihan penerimaan negara tidak memiliki kapasitas yang baik dalam merespons kondisi perekonomian domestik maupun internasional.
"Pemulihan penerimaan negara tidak mudah dilakukan saat kondisi pemulihan ekonomi, jadi sangat tergantung sektor penerimaan negara industri manufaktur perdagangan itu cepat pulih baru bisa tumbuh," tuturnya.
Faktor selanjutnya, dia mengatakan, dari sisi pengeluaran pemerintah, yakni belanja atau investasi saat ini juga masih jauh lebih besar dari basis konsumsi masyarakat pada umumnya. Sehingga sumber penerimaan berupa PPN juga belum optimal.
"Sehingga sumber PPN yang basisnya konsumsi jauh lebih lambat ini kenapa bisa ada peluang potensi melebar kecuali mau tidak mau belanja pemulihan eko dikurangi secara drastis,” katanya.