RI Ketiban Cuan Supercycle Komoditas
- ANTARA/MTohamaksun.
VIVA – Rentetan kenaikan nilai ekspor Indonesia dari sektor komoditas setiap bulannya terus terjadi. Hal itu cukup menarik, sebab kenaikan tersebut justru terjadi di saat pandemi COVID-19 dan banyaknya pembatasan aktivitas ekonomi di seluruh dunia.
Bahkan, surplus neraca perdagangan Indonesia mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah, yakni US$4,74 miliar pada Agustus 2021. Di mana ekspor mencatat rekor tertinggi yakni US$21,42 miliar dan impor US$16,63 miliar.
Angka surplus neraca perdagangan tersebut naik pesat dibandingkan Agustus 2020 yang sebesar US$2,32 miliar. Dan capaian itu di atas rekor surplus tertinggi sebelumnya yang terjadi pada 2006 sebesar US$4,64 miliar.
Baca juga: Harga Batu Bara Meroket Indikator Ekonomi Global Pulih, Benarkah?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan naik pesatnya ekspor Indonesia setiap bulannya disebabkan oleh kenaikan harga dan volume. Khususnya harga komoditas seperti batu bara yang naik 11,04 persen month to month, kelapa sawit 6,85 persen dan minyak kernel 4,66 persen.
"Komoditas ekspor yang naik tertinggi adalah Minyak sawit dan batu bara, yang harga internasionalnya naik. Kenaikan terjadi baik dari sisi volume maupun harga," ujar Margo.
Data Kementerian ESDM mencatat sepanjang 2021 harga batu bara acuan atau HBA terus naik. Di mana pada Januari 2021 harga batu bara berada di level US$75,84 per ton, sementara pada September 2021 mencapai US$150,03 per ton.
***
Senada dengan hal tersebut, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi mengatakan, salah satu pendorong tercapainya surplus perdagangan Indonesia yang tinggi lantaran adanya faktor supercycle komoditas.
Supercycle komoditas sendiri salah satunya ditandai fenomena melonjaknya harga komoditas dunia. Di mana, Indonesia merupakan eksportir komoditas mentah yang digunakan berbagai negara menjadi bahan baku industri.
"Saya sadar ini bukan hanya karena permintaan yang bagus terhadap barang jadi dan industri teknologi tinggi, tapi dorongan supercycle ekonomi yang membuat tingginya nilai-nilai barang," kata Lutfi belum lama ini.
Ia pun memperkirakan, situasi supercycle komoditas yang terjadi saat ini akan berlangsung lebih dari 14 bulan atau diprediksi akan dinikmati selama 24-30 bulan sejak September 2020 lalu.
Faktor pemicunya yaitu kebutuhan dunia akan komoditas yang tengah meningkat seiring tren pemulihan ekonomi. Selain itu, masalah perubahan iklim yang membuat harga komoditas pangan dunia mengalami lonjakan harga.
Untuk itu, dalam memanfaatkan situasi tersebut pemerintah membuat kebijakan strategis untuk mendukung ekspor dan memanfaatkan untuk bisa meningkatkan efisiensi industri.
Naiknya PNBP
Kemudian, adanya supercycle komoditas juga diakui Kementerian Keuangan mendorong naiknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga 7 September 2021. Kondisi itu dipengaruhi harga komoditas batu bara yang meningkat.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata menjelaskan, data Minerba One Data Indonesia (MODI) mencatat penerimaan negara dari minerba telah mencapai Rp42,36 triliun, atau mencapai 108,33 persen dari target.
"PNBP dari sumber daya alam non-migas memang sedang bagus kinerjanya. Data dari Kementerian ESDM kira-kira sama dengan data yang kami miliki," tuturnya kepada VIVA.
Besaran penerimaan itu, juga seiring dengan penjualan batu bara yang mencapai 322,58 juta ton atau setara 51,61 persen dari target. Sedangkan produksi batu bara hingga saat ini 404,87 juta ton atau 64,78 persen.
Untuk itu, walau PNBP naik, Isa memastikan Kemenkeu akan waspada terhadap harga batu bara demi mengantisipasi terjadinya fluktuasi harga di masa Pandemi COVID-19. Sebab, 65 persen PNBP minerba dikontribusikan batu bara.
***
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Bank Permata, Josua Pardede mengatakan fenomena kenaikan harga komoditas hingga saat ini cenderung menguntungkan Indonesia sebagai negara eksportir komoditas.
Bahkan, pada neraca perdagangan Agustus lalu, Indonesia meraih surplus yang besar mencapai US$4,7 miliar, tertinggi sejak Desember 2006 sejalan dengan naiknya harga komoditas terutama CPO dan Batu Bara.
"Tentu ini akan membantu kinerja ekonomi pada kuartal III-2021, sedikit mengkompensasi dampak penurunan kinerja ekonomi akibat penerapan pembatasan mobilitas pada Juli hingga awal Agustus," kata Josua kepada VIVA.
Ke depan, lanjut Josua fenomena supercycle ini miliki potensi tekanan harga komoditas sejalan dengan akan dimulainya tapering di Amerika Serikat yang berpotensi menguatkan dolar dan menurunkan harga komoditas.
Dengan demikian, selain dari dampak langsung tapering terhadap penurunan aliran modal yang berujung kepada tekanan terhadap rupiah, pemerintah juga perlu mengantisipasi penurunan kinerja ekspor karena penurunan harga komoditas yang juga dapat memberikan tekanan terhadap kinerja rupiah.
Untuk itu, kata Josua, dalam jangka pendek, nilai tukar rupiah akan relatif terjaga sejalan dengan langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Sementara, dalam jangka panjang, kami menilai Pemerintah harus berupaya melakukan hilirisasi industri. Hilirisasi industri saat ini terbukti mampu meningkatkan kinerja ekspor Indonesia, terutama untuk komoditas nikel, besi dan baja.